Selasa, 27 Januari 2009

Gatot Susilo Sumowijoyo, Setia Perjuangkan Bahasa Indonesia Baku



[ Sabtu, 24 Januari 2009 ]
Gatot Susilo Sumowijoyo, Setia Perjuangkan Bahasa Indonesia Baku
Tiga Kali Ganti Lin ke Kampus

Di tengah maraknya bahasa gaul, Gatot Susilo Sumowijoyo tetap getol memperjuangkan bahasa Indonesia baku. Bukan hanya dalam bentuk tulisan, tapi juga percakapan sehari-hari. Pada usianya yang sepuh, dia tetap bersemangat mengajar di Unesa.

SITI AISYAH

KOPIAH hitam hampir selalu menghiasi kepalanya. Demikian pula, ketika kemarin ditemui di rumahnya, Jalan Ketintang Wiyata, Gatot Susilo Sumowijoyo mengenakan batik, celana panjang, plus kopiah hitam.

Tatkala mengajar, dosen sintaksis di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unesa (Universitas Negeri Surabaya) tersebut biasa memakai setelan safari, kopiah hitam, dan kacamata model lama. Sederhana.

Kesederhanaan memang lekat pada sosok Gatot. Rumahnya yang dekat dengan Kampus Unesa, Ketintang, itu juga sangat sederhana. Modelnya lama. Lantainya tegel biasa, bukan keramik. Cat pagarnya mengelupas di sana-sini. Kondisi tersebut sangat berbeda daripada rumah-rumah di sekitarnya.

''Yah... inilah saya dan rumah saya,'' kata pria yang pernah menjabat ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unesa itu.

Bagi orang yang belum kenal, Gatot hanyalah warga perumahan biasa. Dosen ini berangkat dan pulang mengajar dengan naik lin. ''Saya naik lin tiga kali kalau pergi ke kampus,'' tuturnya. Fakultas Bahasa dan Seni Unesa di kampus Lidah Wetan memang cukup jauh dari Ketintang.

Padahal, pria yang lebih suka hidup sendiri itu termasuk salah satu orang penting di kalangan ahli bahasa Indonesia. Dialah pejuang bahasa Indonesia baku.

''Di luar sana mungkin banyak yang bilang saya kurang kerjaan karena mempertahankan bahasa yang dianggap kaku. Padahal, orang yang mengatakan seperti itu tidak mengerti bahwa bahasa baku justru lebih mudah dan luwes,'' jelas dosen luar biasa Unesa tersebut.

Dalam percakapan sehari-hari, Gatot tidak segan mengoreksi -bahkan mendamprat- mahasiswanya yang tidak menggunakan bahasa baku. ''Misalnya, ketika kami menyatakan kata nggak, beliau langsung menegur. Seharusnya, yang kami gunakan kata tidak,'' kata Guntur Prayitno, mantan mahasiswa Gatot yang kini bekerja di Jawa Pos.

Meski dikenal sebagai dosen yang sulit meluluskan mahasiswa, Gatot juga dikenal murah hati. Dia selalu membagikan gratis copy diktat pelajaran kepada mahasiswa. ''Yang mendapatkan nilai A atau B saya beri copy kumpulan puisi saya,'' ujarnya. ''Tapi, tidak banyak mahasiswa yang mengerti isi puisi saya,'' lanjutnya.

Buku kumpulan puisi Kepada Angin ditulis dalam bahasa Indonesia baku. Inilah Kepada Angin yang ditulis pada 1976: mengapa kau masih memata-matai/padahal tubuh telah lumpuh/dan telanjang di punggung bumi/menanti detik-detik pengadilan.

Keinginan memperjuangkan bahasa Indonesia baku itu timbul ketika Gatot mengajarkan sintaksis, mata kuliah yang mempelajari tata bahasa yang baik dan benar. Sebab, ternyata masih banyak mahasiswanya yang belum mengerti dan tidak menggunakan bahasa Indonesia baku.

''Kalau tidak dijaga dan dipelihara, bahasa Indonesia akan rusak dan kehilangan jati dirinya,'' ujarnya. ''Bahasa itu kan karunia Allah. Kalau tidak dijaga, kita bisa dosa,'' lanjutnya lantas tersenyum.

Padahal, kata Gatot, mempelajari bahasa baku cukup mudah. Asal tahu kaidah-kaidah bahasa, tidak akan sulit menggunakannya. ''Cirinya ya itu, ide dan penyampaian dalam kalimat tidak ruwet,'' jelasnya sambil mencari-cari contoh di Pos Jaga Bahasa Indonesia, bukunya yang terbit pada 1999.

Sosialisasi Gatot tentang bahasa Indonesia baku semula hanya melalui seminar dan penataran dosen-dosen di Unesa. Kemudian, dia mendapatkan banyak undangan dari kepala dinas pendidikan di daerah-daerah untuk memberikan pelatihan. Tapi, tidak semua setuju pada pemikiran dan upayanya.

Bahasa baku banyak digunakan dalam situasi resmi. Misalnya, pidato, undang-undang, karya ilmiah, dan laporan penelitian. Tapi, menurut Gatot, bahasa baku tidak sekaku yang dipikirkan orang.

''Bahasa Indonesia baku bisa digunakan dalam karya sastra,'' ujarnya. ''Saya membuktikannya dengan membuat kumpulan cerpen yang keseluruhannya ditulis dalam bahasa baku,'' lanjut dia.

Dua buku lain yang ditulis Gatot adalah Gebrakan (2000) dan Pak Repus (1996) yang berisi sepuluh cerpen. Tengsoe Thahjono yang waktu itu menjadi ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur memberikan kata pengantar. Tengsoe menyebutkan, kesederhanaan bahasa dalam puisi-puisi Gatot sangat mencekam. Pilihan bahasa baku yang digunakan membuat karyanya berbeda. ''Buku-buku sastra yang saya tulis ini mungkin satu-satunya karya sastra yang ditulis dalam bahasa baku,'' ujarnya.

Gatot memang perlu menulis. Setidaknya, itu akan memberikan bukti kepada para pengkritiknya. Sebab, tidak sedikit pengamat sastra, sastrawan, dan orang yang berkecimpung dalam karya tulis mengatakan tidak mungkin karya sastra ditulis dalam bahasa Indonesia baku.

Namun, ketika Gatot mampu menerbitkan karya sastranya, tidak ada lagi yang berkomentar. Juga, tidak ada satu pun sastrawan yang pernah mengkritik dirinya mengakui kebenaran Gatot. ''Itu mungkin sedikit hal yang saya sesalkan. Mengapa mereka tidak berkomentar apa-apa ketika saya benar-benar menulis sastra dengan bahasa baku,'' tegasnya.

Tetapi, dengan menulis itu, Gatot memang tidak sekadar ingin memberikan pembuktian. Yang lebih penting adalah memberikan motivasi kepada para mahasiswanya untuk berkarya dan melestarikan bahasa Indonesia.

''Kalau hanya menggunakan bahasa lisan, kita tidak akan tahu bahwa bahasa yang kita gunakan salah. Karena itu, bahasa baku harus dilatih dengan bahasa tulis,'' jelasnya berapi-api.

Selain itu, dia ingin meninggalkan jejak keilmuan. Pria yang seluruh rambutnya telah putih itu menuturkan, jika tidak membuat karya, dirinya tidak akan meninggalkan jejak apa pun setelah kepergiannya. ''Ilmu yang bermanfaat itu kan harus disalurkan agar bisa dimanfaatkan dan diteruskan orang lain,'' kata pria yang dikenal tegas oleh mahasiswanya itu.

Ketika menjabat pembantu dekan (PD) I di FBS Unesa pada 1990-an, Gatot menerbitkan majalah lokal Prasasti. Dia pemimpin redaksinya. Sebelumnya, FBS tidak punya majalah yang mumpuni. ''Semua naskah yang masuk saya sunting sendiri sehingga bahasanya baku. Saya juga mengambil naskah dari berbagai tempat,'' kenangnya.

Dalam perkembangannya, majalah lokal tersebut kian besar. Gatot mengirimkan majalah-majalah tersebut untuk mendapatkan akreditasi. ''Akhirnya, majalah itu mendapatkan akreditasi nasional. Itu pertama di Indonesia bahwa majalah lokal kampus mendapatkan akreditasi nasional,'' ujarnya bangga.

Sayang, kebanggaannya harus pupus seiring dengan berjalannya waktu. Setelah dia tinggalkan, majalah tersebut tidak terurus dan kini tidak ada kabarnya lagi. Gatot memahami bahwa tidak semua orang bisa memahami bahasa baku dengan baik. Bahasa ibu yang kental kadang sangat berpengaruh dalam berbicara.

''Karena itu, mempertahankan bahasa asli Indonesia ini memang membutuhkan kemauan kuat,'' tegasnya. (cfu)

Selasa, 20 Januari 2009

Pelantikan Obama

Kamis, 08/01/2009 10:34 WIB
Pelantikan Obama Rawan Serangan Teroris
Rita Uli Hutapea - detikNews

AFP

Washington - Pelantikan Barack Obama menjadi presiden AS tinggal menghitung hari. Acara penting itu merupakan target menarik bagi para teroris domestik dan internasional.

Meski pejabat-pejabat intelijen AS mengatakan, sejauh ini tidak ada informasi mengenai ancaman spesifik seputar pelantikan pada 20 Januari tersebut.

Namun menurut penilaian intelijen AS, pentingnya acara tersebut, kehadiran para petinggi dan momen pengambilan sumpah presiden kulit hitam pertama AS, membuat pelantikan Obama itu rawan akan serangan teroris.

Yang paling mengkhawatirkan adalah kemungkinan penggunaan bahan peledak canggih, situasi penyanderaan ataupun pengebom bunuh diri.

Pengamanan memang akan super ketat di sekitar Capitol AS. Namun hotel-hotel terdekat, restoran dan jalan-jalan bisa menjadi target serangan.

Menteri Keamanan Dalam Negeri Michael Chertoff mengatakan, pelantikan Obama akan menjadi pelantikan presiden yang paling ketat pengamanannya.

"Saya pikir itu akan menjadi pengamanan yang paling tinggi dari pelantikan manapun, sejauh yang saya tahu," tutur Chertoff seperti dilansir News.com.au, Kamis (8/1/2009).

Diimbuhkan Chertoff, sejauh ini tak ada informasi intelijen spesifik mengenai plot teroris selama pelantikan tersebut.

"Kami saat ini tidak mengetahui adanya ancaman nyata, kredibel dan spesifik yang akan mempengaruhi pelantikan," tutur Chertoff.

Dinas Rahasia AS alias Secret Service bertanggung jawab atas keseluruhan pengamanan acara tersebut.
(ita/iy)