Jumat, 11 Juli 2008

Cinta Laura Ingin Jadi Trendsetter Bahasa

Kamis, 31/01/2008 11:00 WIB
Hot Profil (1)
Cinta Laura Ingin Jadi Trendsetter Bahasa
Pebriansyah Ariefana - detikhot

Gambar
Cinta Laura (ebi/hot)
Jakarta Cinta Laura Kiehl. Dara berkulit putih itu baru 1 tahun menghiasi layar kaca. Namun berkat sinetronnya yang naik daun dan gaya bicaranya yang terbata-bata berbahasa Indonesia, Cinta Laura melesat sebagai salah satu artis muda populer.

Heran mengapa Cinta kesulitan berbahasa Indonesia? Ternyata ada alasan logis yang menyebabkan cewek kelahiran Quakenbruck, Jerman, 17 Agustus 1993 itu bicara dengan logat bule.

"Memang lingkungan aku jarang banget ngomong Indonesia, kebanyakan bahasa Inggris," ujar putri tunggal dari pasangan Michael Kiehl dan Herdiana itu saat berbincang dengan detikhot di sebuah salon di Pondok Indah Mall 2, Jakarta Selatan belum lama ini.

Sebagai anak mantan bos Hotel Grand Hyatt, masa kecil Cinta banyak dihabiskan dengan berpidah-pindah. Mengikuti ayahnya yang berkebangsaan Jerman, Cinta singgah bergantian di Singapura, Jerman, dan Dubai setiap 2 tahun.

Khawatir dengan pertumbuhan anak yang hobi renang itu, sang ibu, Herdiana memutuskan untuk menetap di Indonesia sejak tahun 2000 silam. Sedangkan sang ayah memilih membuka usaha pariwisata.

Terjunnya Cinta ke dunia akting merupakan sebuah keberuntungan yang tidak diharapkannya. "Sebenernya aku hobi nyanyi, eh jadi pemain sinetron, syukur deh," ujar siswi Jakarta International School itu.

Salah satu ajang pemilihan model 2006 diikuti Cinta. Entah kebetulan atau memang keberuntungan, casting director dari rumah produksi MD Entertainment, Sanjay Maulani menjadi juri. Gadis tomboy itu pun langsung ditawari main sinetron, dan 'Cinderella' jadi kiprah pertama Cinta di layar kaca.

Tidak mudah bagi gadis yang tidak fasih bahasa Indonesia itu untuk langsung syuting. "Empat bulan pertama aku harus belajar bahasa Indonesia biar lancar. Baru bisa baca skenario, itu pun lumayan lama menghafalnya," tutur Cinta sambil memperhatikan rambutnya yang sedang dipotong.

Gadis yang gemar memakai sneakers itu ternyata bangga dengan ketidakfasihannya berbahasa Indonesia. Cinta berharap gaya bicaranya bisa jadi trend dan identitasnya.

"Aku gak merasa malu waku diledek kalau lagi ngomong, aku harap sih dengan begini bisa diikuti anak lain. Ini juga bisa jadi identitas aku, biar mudah dikenal, karena ini alami," tandas Cinta.

Simak obrolan lebih lanjut detikhot dengan Cinta Laura soal film perdananya, 'Oh...Baby'. Ssst, diam-diam Cinta yang bertubuh kurus itu ingin berotot lho!
(ebi/eny)

Kamis, 03 Juli 2008

Jangan Lupa Subyek dan Predikat

Submitted by team e-penulis on Sen, 27/03/2006 - 11:24am.

Penulis : J.S. Badudu

Kalimat dapat dilihat dari tiga jenis tatarannya: fungsi, kategori, dan peran. Tataran fungsi membagi kalimat atas subjek, predikat, dan objek, pelengkap, dan keterangan. Tataran kategori membagi kalimat atas kelas kata (kata benda/nomina, kata kerja/verba, kata sifat/adjektiva, kata keterangan/adverbial, kata ganti/pronomina, kata bilangan/numeralia, kata depan/preposisi, kata penghubung/konjungsi, kata seru/interjeksi, dan kata sandang/artikel). Tataran peran membagi kata atas jenis perilaku (agentif), penderita (objektif), penerima/penyerta (benefaktif), tempat (lokatif), waktu (temporal), perbandingan (komparatif), alat (instrumental), penghubung (konjungtif), perangkai (preposisi), dan seruan (interjeksi).

Pembagian atas jenis tataran itu jangan dicampuradukkan. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, membuat pembagian objek pelaku, objek penderita, dan objek penyerta. Dua tataran digabungkan menjadi satu. Bicara tentang objek itu berbicara tentang fungsi, sedangkan tentang pelaku, penderita, dan penyerta itu berbicara tentang peran. Begitu juga Slamet Mulyana berbicara tentang gatra (= fungsi), yaitu gatra pangkal (S), gatra sebutan (P), gatra situasi (K), sedangkan gatra pelaku dibaginya atas pelaku I (pemeran), pelaku II (penderita), dan pelaku III (penyerta) berbicara tentang peran, bukan fungsi.

Sebenarnya fungsi terpenting adalah subjek (S) dan predikat (P) karena tiap kalimat (tunggal) pasti terdiri atas S dan P, sedangkan objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (K) adalah bagian dari P inti karena ketiga unsur itu adalah penjelas P inti itu.. Misalnya, kalimat `Dia membahas masalah pemilihan umum dalam rapat itu` dapat kita uraikan sebagai berikut: Dia (S), membicarakan (P), masalah (O), pemilihan umum (Pel), dalam rapat itu (K). Perhatikan: `masalah`, `pemilihan umum`, dan `dalam rapat itu` hanyalah bagian dari `membicarakan`, bagian-bagian yang tiga itu adalah P dalam arti luas.

Tidak ada kalimat tanpa S dan P. Kalau ada kalimat yang tidak memiliki S dan P, misalnya, kalimat jawab atau kalimat perintah, itu tidak berarti bahwa S dan P-nya tidak ada. S dan P itu tidak disebutkan lagi karena sudah diketahui. Misalnya, kalimat jawab `Sudah`. Baik pembicara maupun yang diajak bicara mengerti apa yang dimaksud karena bagian kalimat itu merupakan jawaban atas kalimat `Kamu sudah makan?` Kalimat itu dilihat dari segi maknanya adalah kalimat sempurna, sedangkan dilihat dari segi bentuknya tidak sempurna. Bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak sama baik kosakatanya maupun strukturnya. Bahasa Indonesia dengan bahasa-bahasa Eropa mempunyai perbedaan-perbedaan khusus. Misalnya, kalimat bahasa Inggris atau bahasa Belanda bukan kalimat namanya kalau tidak ada verbanya karena P dalam bahasa-bahasa itu mesti terdiri atas verba (kata kerja). Bahasa Indonesia tidak demikian. Predikat kalimat dapat terdiri atas jenis kata lain seperti nomina, adjektiva, adverbia, pronomina, numeralia, atau frasa preposisi. Misalnya, dalam bahasa Indonesia dapat dikatakan `Saya guru` tetapi dalam bahasa Inggris tidak cukup jika dikatakan `I am a teacher`. P-nya am (dari verba to be).

Kita lihat bahwa sebuah kalimat terdiri atas kata-kata sebagai unsur segmentalnya, tetapi itu saja tidak cukup. Kalimat harus dilengkapi dengan intonasi sebagai unsur suprasegmentalnya. Kalau ditulis `Dia sudah makan`, kita belum tahu apa yang dimaksud. Apakah susunan kata- kata itu menyatakan suatu pemberitahuan, tetapi kalau ditulis `Dia sudah makan?`, maka itu sebuah pertanyaan.

Bahasa tulis menuliskan kalimat dengan huruf awal pada kata pertama dengan huruf kapital dan mengakhiri kalimat itu dengan tanda baca. Tanda baca titik (.) menyatakan bahwa kalimat itu sudah selesai sebagai kalimat berita/pemberitahuan, tanda tanya (?) menyatakan bahwa itu sebuah kalimat tanya, dan tanda seru (!) menyatakan bahwa itu sebuah kalimat seru atau kalimat perintah.

Bahan dikutip dari sumber:
Judul Majalah : Intisari Edisi Juni 2004
Judul Artikel : Jangan Lupa Subjek dan Predikat
Penulis : J.S. Badudu
Halaman : 162 - 163

Adil Tidak Selalu Bijaksana

Submitted by team e-penulis on Sen, 27/03/2006 - 10:58am.

Penulis : Lie Charlie

Alkisah, Raja Salomo dihadapkan pada suatu perkara yang rumit. Seorang bayi sedang diperebutkan dua orang ibu. Mereka masing-masing mengaku sebagai ibu kandung bayi tersebut dan oleh karena itu berhak atasnya. Hakim-hakim seluruh negeri sudah angkat tangan dan kehilangan pegangan dalam memberikan keputusan. Maklum saja, saat itu belum ada teknologi uji DNA.

Raja bersungut-sungut, tapi tetap saja ia berpikir. Sejenak kemudian, tiba-tiba raja menghunus pedangnya dan berseru, "Kalau begitu mari kita bikin keputusan yang adil! Aku akan membelah bayi ini menjadi dua bagian yang sama, sehingga kalian masing-masing akan mempunyai separuhnya!"

Ibu gadungan bersorak kegirangan, "Hidup Raja Salomo yang adil!" Sedangkan ibu kandung sang bayi itu memucat wajahnya, lalu buru-buru bersimpuh di kaki Sang Raja dan memohon dengan pilu. "Ampun Tuanku Baginda Raja, hamba ikhlaskan putra hamba diserahkan kepada ibu itu seutuhnya. Janganlah Tuanku memainkan pedang ...."

Raja Salomo terharu, dan tiba-tiba saja tertawa, "Ha ... ha ... ha ..., aku sudah mendapatkan keputusan." Kedua ibu itu terbengong- bengong dan harap-harap cemas. "Aku tetapkan, kaulah wanita mulia, ibu kandung bayi ini!" Raja Salomo menyerahkan sang bayi kepada ibu yang berlutut di hadapannya. Legalah sang ibu kandung itu.

Kisah inilah yang antara lain membuat Raja Salomo disebut sebagai raja yang bijaksana. Dari kisah itu pula kita bisa mengambil hikmah bahasa yang unik: makna kata `adil` sangat berbeda dengan makna kata `bijaksana` (apabila tidak dapat dikatakan bertolak belakang). Kita bisa menguji kedua kata itu dengan contoh kasus lain. Kita memiliki kain selebar 10 m2 dan ingin membaginya menjadi dua bagian. Dikatakan adil jika masing-masing pihak memperoleh kain selebar 5 m2. Hanya saja, jika dua orang itu berbeda fisiknya (katakanlah yang satu gemuk sehingga 5 m2 tadi kurang untuk membuat sebuah baju, sementara yang satunya kurus sehingga kain tadi bersisa percuma) apakah tindakan membagi dua sama besar itu adil?

Jelaslah bahwa keputusan yang adil itu tidaklah selalu bijaksana. Dalam hal pembagian kain di atas, biarlah kita tidak berbuat adil asal bijaksana. Seyogyanya kain tadi dibagi menjadi dua bagian dengan 6 m2 untuk si gemuk dan 4 m2 untuk si kurus. Dengan begitu keduanya bisa memperoleh baju tanpa ada kain yang terbuang percuma. Lucunya, kita sering menggabungkan kata adil dan bijaksana tadi. Padahal sesungguhnya hal itu tidak akurat dan tak serasi. Kalau adil, bilang saja adil, artinya sama rasa sama rata. Soalnya, bijaksana belum tentu adil. Bahkan belakangan ini, apa-apa yang digolongkan bijaksana ternyata lebih sering berpretensi negatif. Tidak percaya? Kalau ada orang yang mendatangi Anda dan berkata, "Minta kebijaksanaan dong Pak/Bu, supaya ada uang kebijaksanaan gitu ...?" Positifkah niatnya?

Bahan dikutip dari sumber:
Judul Majalah : Intisari Edisi April 2004
Judul Artikel : Adil Tidak Selalu Bijaksana
Penulis : Lie Charlie
Halaman : 152 - 153

"Non" sebagai Awalan? Nanti Dulu!

Submitted by team e-penulis on Sen, 27/03/2006 - 11:34am.

Penulis : Lie Charlie

Nonaktif. Kata ini meruap kala seorang pejabat terkena kasus atau intrik politik. Misalnya kala Kapolri Bimantoro dinonaktifkan oleh Presiden Gus Dur pertengahan tahun 2001. Begitu juga ketika Syahril Sabirin tersandung kasus Bank Bali. Ia diminta nonaktif dari jabatannya. Kasus terbaru tentunya Akbar Tandjung.

Kali ini, kita akan meninjau penggunaan kata ´nonaktif´ tadi dari sudut bahasa dan sama sekali mengabaikan interferensi apa pun yang tidak ada kaitannya dengan kebahasaan.

Pemakaian kata ´nonaktif´ sudah marak sebelum kasus-kasus di atas. Maksud kata tersebut mudah dicerna, yaitu mengistirahatkan seseorang dari kegiatan atau kewajibannya. Ada banyak posisi jabatan yang akrab dengan kata ´non-´ ini. Tidak harus seorang Kapolri, Gubernur BI, atau bahkan Ketua DPR. Seorang Ketua RT pun bisa dinonaktifkan jika dinilai melanggar peraturan.

Kata ´nonaktif´ terbentuk dari kata ´aktif´ yang diberi awalan berupa ´non-´. Benar, dalam bahasa Inggris, misalnya, ´non´ itu dianggap sebagai prefiks (awalan), meski hanya dilekatkan pada sejumlah kata tertentu saja. Agar tidak mengganggu ketatabahasaan kita, maka penulis berpendapat sebaiknya ´non-´ ini jangan dulu diadopsi sebagai awalan. Sedangkan ´aktif´ sendiri memiliki makna ´giat´, namun sebagai kata keadaan, ´aktif´ kira-kira berarti ´masih bertugas´. Sejauh ini, dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia mutakhir, penggalan ´non-´ juga sering dipadukan dengan kata benda, umpamanya ´nonfiksi´, ´nonkarier´, serta ´nonanggota´. Penambahan kata "non-" terhadap kata benda bersifat mengingkari atau sepadan dengan penambahan kata ´bukan´ kepada kata-kata yang sama (bukan fiksi, bukan karier, dan bukan anggota). Terhadap kata sifat atau kata keadaan, penambahan ´non-´ setara dengan penggunaan kata ´tidak´. Kadang-kadang ´non-´ pun dapat berarti ´tanpa´, seperti terlihat pada kata ´nongelar´ dan ´nonkolesterol´.

Seandainya kita berlapang dada menerima kata ´nonaktif´, maka kaidah pengimbuhannya berlaku normal, sehingga akan lahir kata-kata seperti ´menonaktifkan´ atau ´dinonaktifkan´ atau ´penonaktifan´.

Penyerapan unsur ´non-´ ini dapat dipandang sebagai sikap yang positif selama kita mampu dengan bijaksana menempatkannya. Perlu diingat bahwa unsur ´non-´ hanya berterima jika dilekatkan kepada kata benda, kata sifat, atau kata keadaan. Hindarkan pelekatan pada kata kerja, sehingga tidak timbul ´nonmakan´, ´nonpukul´, dan ´nontulis´. Sejatinya, bahasa Indonesia memiliki dua kata pengingkar: ´bukan´ (untuk mengingkari kata benda) dan ´tidak´ (untuk mengingkari kata kerja, kata sifat, dan kata keadaan). Kata ´tidak´ sesekali muncul dalam wujud tak atau tiada. Selain itu, dikenal pula unsur pengingkar yang lain, ´non-´ (yang telah kita bahas di atas) dan ´nir-´ (yang berasal dari bahasa Sansekerta).

Penerapan unsur pengingkar ´nir-´ dalam mekanisme negasi memang tidak sepopuler ´non-´, dan hanya dijumpai bertaut dengan beberapa kata, misal ´nirbau´ (odourless), ´nirkarat´ (stainless steel), atau ´nirlaba´ (nonprofit).

Karena merupakan morfem terikat morfologis, maka cara menulis kata yang mengandung unsur ´non-´ atau ´nir-´ seyogyanya bersatu dengan kata dasarnya. Toh, tidak ada salahnya sesekali kita menuliskan kata-kata tersebut dengan perantaraan tanda sambung ("-") untuk mempertegas bentuk kata-kata tersebut. Apalagi mengingat kata-kata itu memang agak jarang dipakai, sehingga tidak akan terlalu mengganggu. Silakan saja jika ada satu-dua kata asing yang mengandung unsur pengingkar akan kita ambil begitu saja sebagai kata Indonesia. Kata ´nonstop´ sudah sangat akrab dengan pertuturan kita, sehingga dapat dianggap sebagai kata serapan utuh begitu saja.

Bahan dikutip dari sumber:
Judul Majalah : Intisari Edisi Januari 2004
Judul Artikel : Non Sebagai Awalan? Nanti Dulu!
Penulis : Lie Charlie
Halaman : 160 - 161

Arkais

Submitted by team e-penulis on Jum, 24/11/2006 - 2:11pm.

Oleh SALOMO SIMANUNGKALIT

Ibu W langsung membubuhi coretan merah pada kata 'kahat' dalam naskah Kamus Swedia-Indonesia susunan Andre Moller. Sang penyusun semula memasangnya sebagai padan kata Swedia 'svalt'. Namun, penanggung jawab bidang bahasa dan sastra perusahaan yang menerbitkan kamus tersebut menyingkirkan kata itu sebab menganggapnya arkais. Tinggallah bencana kelaparan sebagai satu-satunya kata atau ungkapan Indonesia untuk 'svalt'.

Sehabis membaca cerita yang dituturkan Moller dalam rubrik ini dua pekan lalu, saya langsung berbatin, apa dasar hukum bagi vonis Ibu W yth. Kemudian saya periksa status 'kahat' dalam dua kamus yang cukup kerap dirujuk di sini.

Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta menaruh A di awal lema 'kahat', yang berarti berasal dari bahasa Arab. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga mencantumkan Ar pada entri serupa, yang maksudnya bahwa 'kahat' berasal dari bahasa Arab. Tanda arkais pada KUBI adalah +, pada KBBI "ark", dan masing-masing tidak disandingkan untuk menjelaskan status 'kahat'. Jadi, kedua kamus nyata-nyata belum memasukkan 'kahat', yang setimpal dengan bencana kelaparan dan kekeringan karena tidak turun hujan, ke dalam kategori arkais.

Kalaupun 'kahat' arkais, mengapa Ibu W menyisihkannya bahkan untuk keperluan kamus. Pikir saya begitu! Asal tahu saja, banyak kata Latin dan Yunani yang sangat purba dibangkitkan dari kubur oleh ilmuwan-ilmuwan ternama dalam bidang mereka masing-masing untuk melabeli konsep atau temuan mereka. Segera saja kata-kata yang sudah bangkotan itu memasyarakat dan tentu saja tahan zaman.

'Spektrum' yang 300 tahun lalu telah diperlakukan sebagai 'potongan nahinan' alias 'baheula', oleh Sir Isaac Newton diangkat menjadi istilah dalam optika. Sekarang spektrum dianggap modern oleh manusia sejagat sampai abad ini.

'Mimeme' yang barangkali hanya dikenal orang-orang Yunani yang setia pada teks-teks lama mereka, oleh biologiman evolusioner terdepan Richard Dawkins sekitar 30 tahun lalu dipugar jadi 'meme' dan menjadi istilah modern dalam ilmu yang bikin agamawan sering salah tingkah itu untuk menamakan sebuah gagasan semacam gen "pikiran, perilaku, dan kebudayaan" dalam masyarakat manusia. Tak kurang dari Richard Brodie, penulis versi pertama Microsoft Word, yang merasa ketinggalan zaman ketika terlambat mengenal kata 'meme' dalam diskusi dengan beberapa sejawat yang ia kagumi di Microsoft sewaktu Bordie masih bekerja di sana.

Kalau semua editor kamus bersikap seperti Ibu W, kita tak bakal mengenal munsyi semacam Sudjoko dan Remy Sylado oleh ketekunan mereka menimba dari lautan kata-kata nusantara yang pernah hidup untuk memantarkan kata atau istilah yang terus lahir di negeri maju sejalan dengan api inovasi yang tak pernah surut di sana.

Barang siapa yang pernah membaca "Wisata Kata", tulisan Sudjoko dalam buku Ilmuwan dan Bahasa Indonesia (Penerbit ITB, 1988), pasti dapat bersaksi betapa kata-kata nusantara yang terdapat di dalam sebuah kamus seperti KUBI cukup ampuh memantarkan kata-kata dari negeri maju yang sekarang kita serap hanya dengan menyesuaikan ejaan saja: option menjadi opsi, to criticize menjadi mengkritisi, dan lain-lain.

Saya selalu memakai kata pelantam, yang oleh Sudjoko diangkat sebagai padan loudspeaker, untuk perkakas pengeras suara yang selalu saya gunakan saban menikmati musik. Lantam adalah kata yang sangat hidup di Sumatera Utara. Salah satu maknanya ialah 'keras sekali (tentang suara, bunyi)'. Pelantam tentu saja pengeras suara. Bukankah itu juga yang dimaksud dengan loudspeaker?

Saya membayangkan 'pelapahan' suatu waktu kita pakai untuk menimpali 'mutilasi', kata yang selama ini kita anggap tak punya pijakan di bumi nusantara tempat kita menjunjung langit. Lapah, tepatnya melapah, berarti menguliti dan memotong binatang sesudah disembelih'. Bukankah tindakan seperti itu juga yang dimaksud dengan mutilasi?

Masih banyak kata nusantara yang maknanya persis dengan kata-kata dari mancanegara yang masuk ke sini asal saja kita mau tekun seperti Prof Sudjoko mencarinya dari berbagai sumber tertulis semacam kamus atau naskah-naskah lain. Lakon Sudjoko ini mestinya juga lakon setiap orang, yang pekerjaannya menulis!

Saya tak membayangkan kita punya kebebasan seperti ini andaikan saja tangan para editor kamus gemar menghamburkan tinta meraihnya, untuk berulang-ulang membubuhi hanya satu kata: arkais.

Sumber : Kompas, Jumat 7 Juli 20006 Hal 15

Bagus, ..., Jelek, Garink?

Submitted by Indonesia-saram on Sel, 18/07/2006 - 9:37am.

Penulis : Franco Lingua

Seiring perkembangan, berbagai istilah baru pun bermunculan. Keyboard tidak hanya dikenal sebagai alat musik, tetapi juga "papan ketika" untuk komputer. Mouse dulunya digunakan sebagai referen untuk tikus, kini sebutan itu juga ditujukan untuk mengacu pada salah satu perangkat pendukung komputer. Dalam pergaulan sehari-hari, beragam istilah baru juga bermunculan. Maraknya istilah baru ini umumnya disosialisasikan oleh generasi muda ABG.

Istilah-istilah seperti jayus, ja'im, ngeceng, dan sebagainya menjadi istilah yang muncul dari gejolak muda. Dan terus terang kalau diperhadapkan pada istilah-istilah "gaul" itu, saya cenderung agak alergi, meskipun harus saya akui bahwa fenomena ini sangat menarik untuk diamati. Terus terang pula saya akui bahwa sampai sekarang saya masih bingung dengan, katakanlah istilah jayus yang entah mengacu ke sifat yang bagaimana.

Terkait dengan hal itu, setelah lama terpampang, baru sekarang saya mengamati secara lebih cermat kriteria penilaian sebuah jajak pendapat pada halaman blog lokal di kantor kami. Ada kriteria "bagus", "biasa", "kurang", "jelek", dan "garink". Bagi saya, kriteria ini cukup menggelitik. Dari kriteria "bagus" hingga "jelek", bisa dipahami. Namun, saya pun bertanya-tanya, garink di sini maksudnya apa? Mengapa pula berada di posisi yang terpuruk?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata garing, berarti ‘keras dan kering’. Umumnya, sesuatu yang keras kurang begitu disukai, malah tidak disukai. Kerupuk yang keras tentunya tidak nikmat dikunyah, apalagi bagi mereka yang giginya sedang bermasalah. Singkatnya, sesuatu yang garink adalah sesuatu yang tidak nikmat, tidak enak.

Nah, kalau sudah begini, apa yang membedakan "jelek" dengan "garink" dalam kriteria jajak pendapat tersebut?

Bahasa Gaul Gitu Looh..

Submitted by team e-penulis on Jum, 24/11/2006 - 1:59pm.

Oleh : Chairul Saleh/Tim Muda

Bahasa gaul sebenarnya sudah ada sejak 1970-an. Awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Tapi karena sering juga digunakan di luar komunitasnya, lama-lama istilah-istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari.

Kita pasti sering mendengar istilah-istilah gaul seperti cupu, jayus, atau jasjus, dan sebagainya. Bahkan mungkin kita sendiri sering menggunakannya dalam obrolan sehari-hari dengan teman-teman. Sebagai anak gaul, ya kita sih senang-senang saja menggunakan kosakata barn yang enggak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Paling- paling guru bahasa Indonesia atau orangtua kita saja yang agak risi kalau kebetulan mereka mendengarnya.

Seharusnya mereka enggak perlu merasa terganggu mendengar bahasa gaul remaja zaman sekarang. Toh di saat mereka muda dulu, mereka juga punya bahasa gaulnya sendiri. Iya, bahasa gaul enggak hanya muncul belakangan ini saja, tapi sudah muncul sejak awal 1970-an. Waktu itu bahasa khas anak muda itu biasa disebut bahasa prokem atau atau bahasa okem. Salah satu kosakata bahasa okem yang masih sering dipakai sampai sekarang adalah "bokap".

Bahasa okem awalnya digunakan oleh para preman yang kehidupannya dekat sekali dengan kekerasan, kejahatan, narkoba, dan minuman keras. Istilah-istilah baru mereka ciptakan agar orang-orang di luar komunitas mereka enggak mengerti. Dengan begitu, mereka enggak perlu lagi sembunyi-sembunyi untuk membicarakan hal negatif yang akan maupun yang telah mereka lakukan.

Karena begitu seringnya mereka menggunakan bahasa sandi mereka itu di berbagai tempat, lama-lama orang awam pun mengerti yang mereka maksud. Akhirnya mereka yang bukan preman pun ikut-ikutan menggunakan bahasa ini dalam obrolan sehari-hari sehingga bahasa okem tidak lagi menjadi bahasa rahasia. Kalau enggak percaya, coba deh tanya bokap atau nyokap kita, tabu enggak mereka dengan istilah mokal, mokat, atau bokin. Kalau mereka enggak mengerti artinya, berarti di masa mudanya dulu mereka bukan anak gaul.

Dengan motif yang lebih kurang sama dengan para preman, kaum waria juga menciptakan sendiri bahasa rahasia mereka. Sampai sekarang kita masih sering kan mendengar istilah "bencong" untuk menyebut seorang banci? Nah, kata bencong itu sudah ada sejak awal 1970-an juga, ya... hampir bersamaan deh dengan bahasa prokem. Pada perkembangannya, konon para waria atau banci inilah yang paling rajin berkreasi menciptakan istilah-istilah baru yang kemudian memperkaya bahasa gaul.

Kosakata bahasa gaul yang berkembang belakangan ini sering enggak beraturan alias enggak ada rumusnya. Sehingga kita perlu menghafal setiap kali muncul istilah baru. Misalnya untuk sebuah lawakan yang enggak lucu, kita biasa menyebutnya garing atau jayus. Ada juga yang menyebutnya jasjus. Untuk sesuatu yang enggak oke, biasa kita sebut cupu. Jayus dan cupu bisa dibilang kosakata baru.

Ini berbeda dengan bahasa okem dan bahasa bencong yang populer di tahun 1970-an. Misalnya, kata bokap dan bencong merupakan kata bentukan dari kata bapak dan banci.

Ada rumusnya

Ada banyak ragam bentukan bahasa gaul. Berikut ini penjelasan singkat beberapa metode atau rumus dalam membentuk atau memodifikasi kata.

- Tambahan awalan ko.

Awalan ko bisa dibilang sebagai dasar pembentukan kata dalam bahasa okem. Caranya, setiap kata dasar, yang diambil hanya suku kata pertamanya. Tapi suku kata pertama ini huruf terakhirnya harus konsonan. Misalnya kata preman, yang diambil bukannya pre tapi prem. Setelah itu tambahi awalan ko, maka jadi koprem. Kata koprem ini kemudian dimodifikasi dengan menggonta-ganti posisi konsonan sehingga prokem. Dengan gaya bicara anak kecil yang baru bisa bicara, kata prokem lalu mengalami perubahan bunyi menjadi okem.

Contoh lainnya:
Mati - komat (ko+mat) - mokat
Bini - kobin (ko+bin) - bokin
Beli - kobel (ko+bel) - bokel
Bisa - kobis (ko+bis) - bokis

Dengan metode yang sama, waria di Jawa Timer mengganti awalan ko dengan si

- Kombinasi e + ong

Kata bencong itu bentukan dari kata banci yang disisipi bunyi dan ditambah akhiran ong. Huruf vokal pada suku kata pertama diganti dengan e. Huruf vokal pada suku kata kedua digani ong.

Contoh lain:

Makan - mekong
Sakit - sekong
Laki - lekong
Lesbi - lesbong
Mana - menong

Ada juga waria yang kemudian nengganti tambahan ong dengan es sehingga bentukan katanya

Banci - bences
Laki - lekes

Tambahan sisipan Pa/pi/pu

Setiap kata dimodifikasi dengan penambahan pa/pi/pu/pe/po pada setiap suku katanya. Maksudnya bila suku kata itu bervokal a, maka ditambahi pa, bila bervokal i ditambahi pi, begitu seterusnya.

Contoh:

Mati - ma (+pa) ti(+pi) - mapatipi
Cina - ci (+pi) na (+pa) - cipinapa
Gila - gi (+pi) la(+pa) - gipilapa
Tilang - ti (+pi) la(+pa)ng - tipilapang

Bahasa gaul dengan bentukan kata macam ini rasanya merepotkan. Memang sih sebagai bahasa sandi atau bahasa rahasia mungkin cukup ampuh. Tapi enggak praktis. Bayangkan saja sebuah kata yang tadinya terdiri dari dua suku kata jadi empat suku kata. Jadi terlalu panjang mengucapkannya.

- Sisipan in

Pernah dengar istilah lines? Lines itu artinya 'lesbi'. Rumusnya, setiap suku kata pertama disisipi in. Kata les-bi disisipi -in jadi 1(in)es b(in)I = linesbini. Biar gampang sering disingkat jadi lines saja.

Contoh lain:
Banci - b(in)an-c(in)i - binancini
Mandi - M(in)an-d(in)i -- Minandini
Toko - t(in)o-k(in)o - tinokino
Homo - h(in)o-m(in)o - hinomino

Contoh-contoh di atas bisa dibilang pembentukan kata yang beraturan. Ada juga bentukan kata yang enggak beraturan, jadi enggak bisa dibikin rumusnya. Misalnya kata cabut yang kemudian jadi bacut. Artinya pergi atau berangkat. Bisa juga diartikan lari atau kabur bila diucapkan dengan intonasi tinggi dan panjang (Cabuuut...!). Susah kan, menghubung-hubungkan kata pergi, berangkat, lari, atau kabur dengan kata cabut. Contoh lainnya kata kece untuk cantik. Coba deh dikutak- katik, siapa tahu bisa dibuatkan rumusnya.

Istilah dalam bahasa gaul sekarang ini kayaknya cenderung ke arah yang enggak beraturan itu atau dengan menyingkat kata

Misalnya kalau kita mendengar ada orang yang bilang "macan tutul di Gedung MPR, pamer paha di jalan tol" tentu itu bukan menunjukkan arti sebenarnya. Enggak ada macan tutul di MPR dan enggak ada cewek-cewek pakai rok mini di jalan tol. Tapi maksud dari kalimat tersebut: "macet total di depan Gedung MPR dan padat merayap tanpa harapan di jalan tol".

Masuk KBBI

Bahasa gaul rupanya enggak cuma menarik buat para penggunanya, tapi juga menarik untuk diseminarkan. Buktinya kira-kira setahun yang lalu pernah digelar acara diskusi "Bahasa Slang, Bahasa Gaul dalam Dinamika Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing" di Perpustakaan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Yang jadi pembicaranya, antara lain, seniman Remy Silado dan Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Dendy Sugono.

Pak Dendy bilang, bisa saja istilah-istilah gaul dicantumkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang akan diterbitkan pada tahun 2008. Di samping itu, Pusat Bahasa Depdiknas pun akan mengeluarkan KBBI yang hanya memuat istilah-istilah baku. Dengan kata lain, kalau inisiatif Pak Dendy ini terlaksana, tahun 2008 nanti akan ada dua versi KBBI. Salah satunya akan mencantumkan istilah-istilah gaul. Kayaknya rencana Pusat Bahasa mencantumkan istilah gaul dalam KBBI bukan omong kosong. Indikasinya sudah kelihatan kok. Beberapa bulan lalu lembaga ini pernah merilis tentang asal-usul istilah gaul. Dari istilah nih ye, memble, kece, bo, nek, jayus, jaim, sampai gitu loh Hebat kan mereka bisa menemukan siapa saja orang pertama yang menciptakan/menggunakan atau memopulerkan istilah-istilah tersebut. Nah, kita masih ada waktu setahun lebih untuk menciptakan istilah-istilah baru untuk dicantumkan dalam KBBI.

Sumber : Kompas, Jumat 15 September 2006, Hal 50

Bahasa Lokal Kita yang Direndahkan

Submitted by team e-penulis on Sen, 27/03/2006 - 10:57am.

Penulis : Lie Charlie

Dirjen Ditjen Bina Produksi Departemen pernah menembuskan sepucuk surat kepada Kepala Lembaga Bahasa Indonesia. Isinya berhubungan dengan penggunaan istilah "lokal" (yang dinilai bercitra kurang positif atau inferior) untuk memaknai produk buah-buahan hasil kebun Tanah Air sendiri.

Ia menyarankan, apabila kita tidak bisa menemukan suatu kata lain untuk membedakan buah produk Indonesia dengan buah impor, maka lebih baik tidak perlu memberi identitas apa pun di belakang penyebutan nama buah produk Indonesia. Katakan saja jeruk kalau itu jeruk, tak perlu menambahinya dengan kata "lokal".

Ditambahkan lagi, taruhlah kita berada di Jakarta, maka menjadi kurang tepat apabila mangga probolinggo diberi label "mangga lokal", sebab makna kata lokal adalah "setempat; atau khusus dari/bagi suatu tempat". Penggunaan kata lokal di sini selain bercitra rendah juga salah karena mangga tersebut bukan hasil sebuah kebun di kawasan Menteng. Pemaknaan mangga lokal barulah tepat jika mangga probolinggo dijual di Kota Probolinggo.

Buah pikiran Bapak Dirjen ada sisi benarnya. Produk buah-buahan tertentu hasil kebun kita memang ada yang kurang bagus jika dibandingkan dengan produk impor. Janganlah buah-buahan kita yang sudah enggak 'pede' itu diberi ciri yang semakin mempermalukannya. Akan tetapi, alih-alih lekas-lekas mengenyahkan cap "lokal" yang sekaligus akan menghilangkan segala identitas (baik dan buruk), maka mari kita mengkaji lagi sejenak masalah ini.

Kemungkinan besar memang kata "lokal" sengaja dipakai untuk membedakan produk dalam negeri dari produk buah impor. Dengan strategi ini, adakalanya pedagang mampu menjual buah impor dengan lebih tinggi. Namun, pada era global seperti sekarang, beberapa komoditi buah impor harganya ternyata sudah bisa lebih murah pula daripada buah lokal! Tampaknya, pada akhirnya konsumen pasti kembali kepada penilaian yang rasional terhadap mutu dan penampilan buah- buahan itu sendiri dan tak terlalu terpengaruh oleh label yang menyatakan impor atau lokal.

Jika kata lokal tetap harus dicarikan penggantinya, maka salah satu usul yang dapat disampaikan pada kesempatan ini adalah dengan mempergunakan kata yang menunjukkan tempat asal buah tersebut. Daripada mengatakan jambu lokal, maka sebutlah -- umpamanya -- jambu cianjur (untuk jambu yang datang dari Cianjur). Kalau konsumen tetap memilih jambu bangkok, maka barangkali dia memang mau makan jambu bangkok saja!

Lihatlah bagaimana penjual duku dengan percaya diri menyebut barang dagangannya sebagai duku palembang, tanpa peduli dari mana asal-usul buah itu. Lalu, salak mana yang mampu menyaingi salak bali atau salak pondoh?

Apabila masyarakat kita memang maniak barang impor, bahasa tidak bisa mengubah apa-apa. Apel malang bisa saja diaku apel australia oleh penjual buah di pasar becek. Tentu, agar laku dengan harga lebih mahal. Rekayasa bahasa tak dapat menyembuhkan masyarakat yang sakit maniak. Apa boleh buat, Pak Dirjen ... Atau, kita perlu coba angkat kata "nasional" menggantikan "lokal guna menggempur kata "impor" itu?

Bahan dikutip dari sumber:
Judul Majalah : Intisari Edisi Juni 2005
Judul Artikel : Bahasa Lokal Kita yang Direndahkan
Penulis : Lie Charlie
Halaman : 168 - 169

Bahasa yang Baik dan Benar

Submitted by team e-penulis on Jum, 18/04/2008 - 8:19am.


Jika bahasa sudah baku atau standar, baik yang ditetapkan secara resmi lewat surat putusan pejabat pemerintah atau maklumat, maupun yang diterima berdasarkan kesepakatan umum dan yang wujudnya dapat kita saksikan pada praktik pengajaran bahasa kepada khalayak, maka dapat dengan lebih mudah dibuat pembedaan antara bahasa yang benar dengan yang tidak. Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang merupakan bahasa yang benar. Jika orang masih membedakan pendapat tentang benar tidaknya suatu bentuk bahasa, perbedaan paham itu menandakan tidak atau belum adanya bentuk baku yang mantap. Jika dipandang dari sudut itu, kita mungkin berhadapan dengan bahasa yang semua tatarannya sudah dibakukan; atau yang sebagiannya sudah baku, sedangkan bagian yang lain masih dalam proses pembakuan; ataupun yang semua bagiannya belum atau tidak akan dibakukan. Bahasa Indonesia, agaknya termasuk golongan yang kedua. Kaidah ejaan dan pembentukan istilah kita sudah distandarkan; kaidah pembentukan kata yang sudah tepat dapat dianggap baku, tetapi pelaksanaan patokan itu dalam kehidupan sehari-hari belum mantap.



Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa pun jenisnya itu, dianggap telah dapat berbahasa dengan efektif. Bahasanya membuahkan efek atau hasil karena serasi dengan peristiwa atau keadaan yang dihadapinya. Di atas sudah diuraikan bahwa orang yang berhadapan dengan sejumlah lingkungan hidup harus memilih salah satu ragam yang cocok dengan situasi itu. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu beragam baku. Dalam tawar-menawar di pasar, misalnya, pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian, keheranan, atau kecurigaan. Akan sangat ganjil bila dalam tawar-menawar dengan tukang sayur atau tukang becak kita memakai bahasa baku seperti ini.

(1) Berapakah Ibu mau menjual bayam ini?
(2) Apakah Bang Becak bersedia mengantar saya ke Pasar Tanah Abang dan berapa ongkosnya?


Contoh di atas adalah contoh bahasa Indonesia yang baku dan benar, tetapi tidak baik dan tidak efektif karena tidak cocok dengan situasi pemakaian kalimat-kalimat itu. Untuk situasi seperti di atas, kalimat (3) dan (4) berikut akan lebih tepat.


(3) Berapa nih, Bu, bayemnya?
(4) Ke Pasar Tanah Abang, Bang. Berapa?


Sebaliknya, kita mungkin berbahasa yang baik, tetapi tidak benar. Frasa seperti "ini hari" merupakan bahasa yang baik sampai tahun 80-an di kalangan para makelar karcis bioskop, tetapi bentuk itu tidak merupakan bahasa yang benar karena letak kedua kata dalam frasa ini terbalik.


Karena itu, anjuran agar kita "berbahasa Indonesia dengan baik dan benar" dapat diartikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang betul. Ungkapan "bahasa Indonesia yang baik dan benar" mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran.



Diambil dan diedit seperlunya dari:



Judul buku : Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga
Penulis : Hasan Alwi, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M. Moeliono
Penerbit : Pusat Bahasa dan Balai Pustaka, Jakarta 2003
Halaman : 20 -- 21

Betulkah Bentuk Mengkritisi?

Submitted by team e-penulis on Sen, 23/07/2007 - 3:43pm.

Menggunakan bahasa secara tepat dan benar tidaklah mudah. Tentu saja diperlukan pengetahuan tentang bahasa itu melalui pelajaran khusus. Pengetahuan berbahasa secara alami saja tidak cukup. Di sekolah, guru mengajarkan kepada murid-muridnya bagaimana bahasa yang benar tentang makna kata, bentuk kata, dan susunan kata dalam kalimat.

Ada dua segi bahasa yang utama, yakni bentuk dan isi. Yang dimaksud dengan isi adalah makna, arti, atau maksud yang terkandung dalam bentuk bahasa itu. Bentuk dan isi tentu harus sejalan. Kalau bentuk salah, misalnya susunan kata-kata dalam kalimat tidak teratur sesuai dengan struktur kalimat, arti atau maksud kalimat itu akan kabur atau tidak dapat dipahami.

Mari kita tinjau sepatah kata yang sering dipakai orang, padahal kata itu salah bentuknya. Yang saya maksud adalah kata "mengkritisi". "Dia mengkritisi bahasa saya" bukanlah kalimat yang benar. Kata "kritisi" adalah kata bentuk sebagai bentuk jamak dari "kritikus" -- orang yang ahli mengkritik. Baik kata "kritikus", maupun kata "kritisi", berasal dari kata "kritik".

Kata "kritik" dipungut dari bahasa Belanda yang padanannya dalam bahasa Indonesia adalah kata "kecaman". Kata kerjanya ialah "mengkritik" atau "dikritik". Berikut adalah contoh pemakaiannya.
Tabiat manusia pada umumnya suka "mengkritik", tetapi tidak senang bila "dikritik".
Alm. H.B. Jassin adalah seorang "kritikus" sastra yang terkenal.
"Kritisi" sastra Indonesia sangat sedikit, malah boleh dikatakan orang yang melakukan kerja "kritik" secara teratur, seperti H.B. Jassin, hampir tidak ada.

Dengan penggunaannya dalam kalimat seperti pada contoh-contoh di atas, kita dapat melihat bagaimana penggunaan kata-kata itu secara benar dalam kalimat. Dalam bahasa Indonesia tidak ada bentuk kata kerja "mengkritisi" dan "dikritisi". Kedua bentuk itu adalah bentuk yang salah kaprah. Jadi, jangan digunakan. Contoh lain seperti itu, misalnya "politik", "politikus", dan "politisi".

Kesalahan kedua yang sering kita jumpai dalam tulisan-tulisan dewasa ini ialah bentuk kata "berpetualang". Kata ini dibentuk dari kata dasar "tualang", diberi awalan pe-, lalu diberi lagi awalan ber-. Kata "petualang" berarti orang yang bertualang. Kata ini tidak mungkin diberi lagi awalan ber- karena maknanya tidak sesuai dengan nalar.

Sebagai bandingannya, dapatkah kata "pedagang" dan "petani" diberi awalan ber-, menjadi "berpedagang" dan "berpetani"? Tidak mungkin, bukan? Itu sebabnya bentuk "berpetualang" bukanlah bentuk yang benar.

Dari bentuk dasar "tualang" (yang tidak dapat digunakan tanpa imbuhan) muncul kata "bertualang" sebagai kata kerja. Orang yang "bertualang" disebut petualang dan pekerjaannya itu sendiri disebut "petualangan". Hanya ada tiga kata bentukan dari bentuk dasar kata "tualang" itu, tidak ada bentuk yang lain lagi.

Contoh lain seperti tualang ialah "ungsi". Bentuk ini tidak dapat dipakai sendiri tanpa imbuhan. Hanya muncul sebagai "mengungsi", "pengungsi", "mengungsikan", "diungsikan", "pengungsian", dan mungkin juga bentuk "terungsikan".

Berikut contoh dalam kalimat.
Korban bencana alam itu "mengungsi" ke tempat yang aman.
Para "pengungsi" terdiri atas laki-laki dan perempuan, bahkan orang-orang yang sudah tua dan anak-anak.
Pemerintah "mengungsikan" semua penduduk dari daerah bencana itu.
Jumlah orang yang "diungsikan" lebih dari seribu orang.
Tempat "pengungsian" tidak hanya satu, tetapi beberapa.
Orang yang "terungsikan" merasa bersyukur karena luput dari bencana gempa dan tsunami itu.

Diambil dan diedit seperlunya dari:
Nama majalah : Intisari (Maret 2005)
Judul Artikel: Betulkah Bentuk Mengkritisi?
Penulis : J.S. Badudu
Halaman : 162 -- 163

Bola Sepak

Submitted by team e-penulis on Jum, 24/11/2006 - 1:50pm.

Oleh SUDJOKO

Bagi masyarakat Indonesia Timur, sebutan bola sepak tidaklah aneh. Begitulah beberapa puluh tahun yang lalu ketika hanya ada TVRI. Tahun 1990 pertevean kita sudah berkembang jauh. Siarannya juga tidak cuma enam jam sehari. Apalagi sekarang. Dan semua penyiar bilang "sepak bola".

Bagi rakyat jiran rupanya hanva ada satu sebutan: bola sepak. Cara menulisnya bola sepak, dan bolasepak. Mereka misalnya menulis: Persatuan Bolasepak Malaysia. Dan FIFA itu "badan pentadbir bola sepak". Dalam bahasa sana tidak ada aturan yang mengharamkan dua kata atau lebih ditulis sebagai satu kata. Kita pun mengenal kata sejenis seperti adipati, setiakawan. dan bumiputera. Cuma, orang seberang lebih berani menggabung kata untuk membuat kata-kata baru. Misalnya kajibintang, temuduga, temuramah, jawatankuasa, ulangkaji, dan setiausaha. Justru kita yang sekarang suka bingung. Bandarlampung, atau Bandar Lampung? Padahal, menggabung itu sudah amat biasa bagi nama. Misalnya Beckenbauer dan Schweinsteiger, Sukamiskin dan Surakarta.

Bola sepak tidaklah salah. Bukankah kita sendiri berkata bola sodok, bola tampar, dan sebagainya? Jadi kita sebut barangnya dulu, lalu apa yang kita lakukan dengan barang itu. Kalau perlakuannya kita dahulukan, mengapa tidak ada orang yang berkata tangkis bulu? Dahulu kita berkata bola keranjang. Sekarang kata keranjang sudah masuk keranjang, diganti basket. Lo, kok diganti? Apa yang salah? Dalam kamus Kramer, korfbal tetap saja disebut bola keranjang.

Lucunya lagi, kata sepak biasa kita lupakan. Orang berkata main bola dan nonton bola. Bagi rakyat Jawa, main sepak bola itu cukup balbalan. Cuma, belum ada yang mau menyebut pebola, bolawan, atau jurubola. Kalau menulis jururawat kita tidak ragu, tetapi kita suka pikir-pikir dulu untuk menulis juruterbang atau jurumudi.

Dalam bulan Piala Dunia kita sering mendengar ajakan nonton bareng. Herannya, kita belum berani membuat kata kebarengan atau perbarengan. Coba kita lihat kamus Wojowasito. Pembarengan itu diartikan synchronization. Kalau begitu, Indonesianya synchronize itu gampang saja dibuat.

Saat nonton bola, aneka istilah khusus sering terdengar dari pengulas kita. Misalnya dribble. Pikir saya, mengapa harus dribble ya? Kita boleh yakin bahwa kebanyakan orang terdidik pun tidak tahu mengejanya. Semasa kecil saya sendiri hampir tiap hari main bola dengan anak-anak Sunda, Jawa, Ambon, dan Sumatera. Dan kami selalu berkata ngocok bola. Jadi, bagi kami dulu, yang bisa dikocok itu bukan hanya obat, telur, kartu, dan perut.

Dalam surat kabar Malaysia, kalau ada gambar pemain lagi dribbling, keterangannya menyebut mengelecek. Ada pula yang menulis mengelicik. Ulah tukang kocok ini juga mereka sebut menggoreng bola. Menggoreng? Apakah di Indonesia juga disebut begitu? Eh, ternyata benar. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta tercatat "menggoreng-goreng bola"! Jelasannya, 'berlari dengan menggiring dan memainkan bola (sepak bola)'. Jadi, Ronaldo itu menggiring sambil menggoreng. Kata menggiring kita semua tahu. Anehnya, dalam perbolaan seperti tidak pernah kita pakai.

Kita suka bilang membawa bola. Yah, membawa itu terlalu umum dong. Mengapa tidak sesekali kita sebut melarikan bola. Tiap hari penyiar teve berkata banjir bandang. Jadi, kata bandang pantas juga dimasukkan ke kamus kita. Poerwadarminta sudah mencantumkan membelandang. Dalam bahasa Jawa, orang juga bisa disebut mbandang, atau berlari secepatnya. Yang namanya lari tunggang-langgang malah sering kita lihat pada jurubola.

Lalu tackle, mentackle, ditackle, dan tackling. Ini sering terucap. Tidak ada pengulas yang ingat kepada kata jegal, padahal semua orang tahu artinya. Apakah menjegal itu harus menjatuhkan? Tidak. Salah satu keterangan dalam kamus Teeuw ialah verijdelen, selain ten val brengen. Verijdelen itu menggagalkan.

Lalu apa Indonesianya World Cup? Untung saja bukan Cangkir Dunia!

Penulis Guru Besar Emeritus
Fakultas Seni Rupa dan
Desain ITB

Sumber : Kompas, Jumat 14 Juli 2006, Hal 15

Bilangan

Submitted by Indonesia-saram on Sel, 18/07/2006 - 9:43am.

Penulis : Franco Lingua

Di tengah hiruk-pikuk penanganan bencana alam Yogyakarta dan sekitarnya yang mengulang kasus di Nias tahun lalu, saya justru tidak tertarik untuk menulis apa-apa mengenai peristiwa itu. Kualifikasi saya jauh di bawah mereka yang telah menuliskannya. Oleh karena itu, saya akan membicarakan hal yang lain.

Kali ini, mari kita bicarakan masalah bilangan. Apa itu bilangan? Bilangan merupakan salah satu kitab yang terdapat di Perjanjian Lama. Namun, bukan ini tujuan saya menulis masalah ini. Menurut kamus yang sehari-harinya tergeletak di meja saya - yang terus terang sering meragukan mengingat bukan kamus standar, bilangan merupakan kata berkelas kata kata benda, yang didefinisikan sebagai jumlah, banyaknya benda, satuan jumlah, lingkungan daerah. Semua definisi itu memang akan membingungkan kalau terpisah dari konteksnya. Namun, percayalah bahwa kita semua akan memahaminya meski seringkali sulit menerjemahkan pemahaman tersebut.

Permasalahan yang sering muncul ialah terkait dengan penulisan bilangan. Bagaimana menuliskan bilangan dalam sebuah kalimat? Apakah dituliskan dengan angka atau dengan huruf? Untuk mengupas masalah ini, tentunya kita menggunakan definisi bilangan sebagai satuan jumlah.

Manakah yang benar dari kalimat berikut?

(a) 5000 orang lebih telah menjadi korban gempa Yogyakarta dan sekitarnya.
(b) Korban gempa Yogyakarta dan sekitarnya mencapai lebih dari 5000 orang.

Kedua kalimat di atas sama-sama keliru. Kalimat (a) menunjukkan kesalahan yang sangat pantang dilakukan seorang penulis, mengingat angka bilangan tidak boleh mengawali sebuah kalimat. Sedangkan kalimat (b), meskipun tidak diawali oleh angka, penulisan bilangan masih tidak tepat.

Lalu bagaimanakah menuliskan bilangan? Adakah hukumnya? Hal pertama yang perlu diingat ialah bahwa kalimat tidak boleh diawali dengan angka bilangan (lihat penjelasan di atas). Kedua, setiap angka bilangan yang terdiri dari setidaknya dua kata, harus ditulis dengan huruf. Penulisan dengan angka baru diperbolehkan bila terdiri dari tiga kata atau lebih. Ketiga, penulisan bilangan yang terdiri dari dua kata baru dapat ditulis dengan angka apabila beberapa bilangan dipakai secara berurutan untuk perincian atau pemaparan.

Bolehkah mengawali kalimat dengan bilangan? Tentu saja boleh. Syaratnya kita mengubahnya. Angka harus dituliskan dengan huruf. Dengan demikian, kalimat (a) di atas dapat menjadi kalimat (c) berikut, dan kalimat (b) menjadi (d).

(c) Lima ribu orang lebih telah menjadi korban gempa Yogyakarta dan sekitarnya.
(d) Korban gempa Yogyakarta dan sekitarnya mencapai lebih dari lima ribu orang.

Sedangkan penulisan bilangan yang terdiri dari tiga kata atau lebih ditulis dengan angka seperti (e) berikut.

(e) Saya tergerak untuk menyumbangkan 25 kotak mie instan, 125 lembar selimut, dan uang sebesar Rp 1.500.000 kepada korban bencana alam di Yogyakarta.

Lalu penulisan bilangan yang terdiri dari dua kata, namun digunakan sebagai suatu perincian misalnya seperti berikut ini.

(f) Kemarin saya membeli 10 komik baru, 4 pena berwarna hitam, dan 15 lembar kerta HVS.

Hukum DM dalam Bahasa Indonesia

Submitted by team e-penulis on Sen, 27/03/2006 - 11:26am.

Penulis : J.S. Badudu

Hukum DM (Diterangkan-Menerangkan) adalah istilah yang mula-mula dimunculkan oleh almarhum Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Hukum DM itu sendiri memang merupakan salah satu sifat utama bahasa Indonesia (BI). Sebuah frasa, terdiri atas unsur utama yang diikuti oleh unsur penjelas. Ada juga bentuk susunan sebaliknya yaitu MD, tetapi jumlahnya agak terbatas. Konstituen pembentuk frasa itu pun bermacam-macam, boleh nomina (N), verba (V), adjektiva (Ad), pronomina (Pron), dan sebagainya. Kita lihat contoh berikut ini:
NN : kandang kuda
NAdv : anak kemarin
NPron : anak saya
NFrPrep : rumah di bukit
NAd : rumah besar
VAdv : pergi lama
NPron : anak itu
NV : rumah makan


Perhatikan! Baik kata pertama (yang diterangkan) maupun kata kedua (yang menerangkan) dapat terdiri dari kelas kata apa saja: nomina, verba, dan sebagainya. Juga bukan terdiri atas kata-kata sederhana (simple word), namun dapat juga atas kata-kata turunan (complex words). Misalnya, pertimbangkan hati nurani, ketenangan pikiran, kesederhanaan, dan penampilan.

Konstituen menerangkan yang terdiri atas adverbia, frasa preposisi, dan numeralia terletak mendahului konstituen utama yang diterangkannya. Misalnya: belum dewasa, sudah pergi, di pasar, dari sekolah, lima anak, tiga buah patung. Arti atau makna yang ditimbulkan oleh paduan kedua unsur frasa itu dapat bermacam-macam seperti terlihat pada contoh-contoh berikut.
NV : rumah makan, kamar tidur (untuk tempat)
NAd : rumah baru, rumah sederhana (bersifat)
NN : padang pasir (yang tediri dari), buku bacaan (untuk di)
VAd : makan besar, tidur nyenyak (bersifat)
AdAd : biru muda, hitam manis (bersifat)
NumN : lima hari, seratus orang (menyatakan jumlah) dsb.


Melihat contoh-contoh di atas, bahwa dalam membentuk frasa, kita pada umumnya menyusunnya seperti itu, yaitu pokok, yang utama, yang diterangkan kita letakkan di depan, sedangkan keterangan atau penjelasannya kita letakkan sesudah unsur pokok itu. Inilah yang ditonjolkan oleh istilah Hukum DM itu.

Di sinilah kita lihat perbedaan antara bahasa Indonesia (juga bahasa-bahasa lain yang termasuk rumpun Austronesia) dengan bahasa yang tergolong dalam rumpun Indo-German seperti bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Dalam bahasa-bahasa itu susunannya adalah MD, yaitu konstituen penjelasnya.

Misalnya, schoolbuilding (Inggris) `bangunan sekolah`, gouverneurkantoor (Belanda) `kantor gubernur`. Ada pula yang menanyakan apakah seorang wanita yang menjadi dokter disebut wanita dokter wanita? Perhatikan: wanita dokter ialah `wanita yang menjadi dokter`, sedangkan dokter wanita ialah `dokter yang keahliannya ialah penyakit-penyakit yang diderita oleh wanita`; bandingkan dengan dokter anak, dokter kandungan, wanita pencuri ialah `wanita yang suka mencuri`, sedangkan pencuri wanita ialah `orang (laki-laki atau perempuan) yang mencuri wanita`; bandingkan dengan wanita penipu dan penipu wanita.

Bahan diedit dari sumber:
Judul Majalah : Intisari Edisi September 2003
Judul Artikel : Hukum DM dalam Bahasa Indonesia
Penulis : J.S. Badudu
Halaman : 152 - 153

Kalimat Tanpa Objek atau Pelaku

Submitted by team e-penulis on Kam, 13/09/2007 - 3:09pm.

Penulis: Lie Charlie

Kalimat "Ibu Aminah sudah melahirkan" dianggap sempurna walaupun tidak mengandung objek. Kalimat ini malah akan terkesan lucu atau tersinyalir mengejek jika dibubuhi objek, "Ibu Aminah sudah melahirkan anak", karena tidak lazim.

Objek adalah sesuatu yang mengalami atau menderita atas apa yang disebutkan oleh sebutan kalimat (predikat). Demikianlah definisi objek menurut tata bahasa tradisional. Bagi orang yang pernah belajar salah satu bahasa secara ilmiah, lebih afdol menyimak pula definisi objek menurut tata bahasa struktural, yaitu objek adalah apa/siapa yang pada kalimat pasif akan menjadi subjek. Ya, dalam hal ini kita memang diharapkan telah memahami perbedaan kalimat aktif dan pasif.

Untuk menguji apakah "anak" pada kalimat di atas memang betul-betul objek, kita dapat mencoba menyusun bentuk pasifnya. Hasilnya, "Anak sudah dilahirkan Ibu Aminah". Kalimat terakhir ini terasa janggal dan aneh, tetapi strukturnya betul. Contoh-contoh pasangan "predikat-objek" lain yang objeknya tidak secara eksplisit dimunculkan cukup banyak, misalnya "menyakitkan (hati)", "memusingkan (kepala)", atau "menghanyutkan (perasaan)".

Bentuk-bentuk pasif pasangan-pasangan itu adalah "hati disakitkan", "kepala dipusingkan", dan "perasaan dihanyutkan".

Tentu kita tidak dapat menyalahkan kalimat yang bentuk atau maknanya aneh semata-mata berdasarkan perasaan. Analisis di atas sudah benar. Sekarang hanya ada dua pilihan. Pertama, menyimpulkan bahwa apabila objek sebuah kalimat aktif disembunyikan, penuturnya memang bersiasat supaya kalimatnya tidak muncul atau direkayasa menjadi berbentuk pasif. Kedua, menganulir jabatan objek pada pasangan "predikat-objek" tertentu yang riskan muncul dalam bentuk pasif dan menganggapnya bukan berjabatan objek, melainkan keterangan. (Jadi, kata-kata "anak", "hati", "kepala", dan °perasaan" pada konstruksi "melahirkan anak", "menyakitkan hati", "memusingkan kepala", dan "menghanyutkan perasaan" di atas disatukan berjabatan keterangan.)

Unsur kalimat yang menjabat sebagai keterangan bersifat opsional kemunculan dan pemunculannya. Salah satu kalimat contoh yang amat sering ditampilkan dan kemudian dianggap salah adalah "Rumah kami dilempari batu". Disebut salah sebab jika dijadikan kalimat aktif, kalimat itu dapat/mungkin berbunyi "Batu melempari rumah kami". Begitulah, andaikata pejabat keterangan kalimat keliru dikenali sebagai pelaku (atau kesempatan lain sebagai objek sebagaimana kasus di atas sebelum ini).

Kalimat "Rumah kami dilempari batu" sebenarnya harus diuraikan jabatan kalimatnya menjadi: rumah kami = subjek; dilempari = predikat; batu = keterangan. Karena menjabat sebagai keterangan, "batu" tak dapat menjadi subjek bila kalimat itu direkayasa menjadi kalimat aktif. Lantas di mana pelaku dalam kalimat itu? Disembunyikan atau tersembunyi! Kalimat pasif memang sering tampil tanpa jabatan pelaku.

Perhatikan, kalimat-kalimat pasif berikut ini sama sekali tak mensyaratkan munculnya pelaku: "Rumah kami dilempari", "Tanah itu sudah dijual", atau "Dapur sedang dibersihkan". Kemudian perluas kalimat-kalimat itu dengan keterangan dan ujilah. Apakah kalimat-kalimat pasif "Tanah itu sudah dijual murah" dan "Dapur sedang dibersihkan sekarang" layak dipaksakan tampil menjadi kalimat-kalimat aktif "Murah sudah menjual tanah itu" dan "Sekarang sedang membersihkan dapur", sebagaimana "Rumah kami dilempari batu" direkayasa menjadi "Batu melempari rumah".

Tidak seperti banyak bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata karena posisinya dalam kalimat sehingga jabatan sebuah kata dalam kalimat perlu lebih dicermati. Bahasa Jerman umpamanya, memiliki artikel di depan kata benda yang dapat memastikan kedusebuah kata sebagai subjek, objek, atau penyerta.

Diambil dan diedit seperlunya dari:
Nama majalah : Intisari, Januari 2007
Judul artikel: Kalimat Tanpa Objek Atau Pelaku
Penulis : Lie Charlie
Halaman : 86 -- 87

Lebih Dekat dengan Preposisi "di" dan "pada"

Submitted by team e-penulis on Rab, 05/09/2007 - 2:01pm.

Kawan saya, seorang editor baru, kerap dibuat puyeng dengan sejumlah kaidah bahasa Indonesia. Harap maklum, dia lulusan ITB dan memang menjadi (lebih tepatnya sebagai kopieditor), sebelum ideal disebut editor.

Singkat cerita, kawan itu telah enam bulan menjadi kopieditor. Sayangnya, ia kurang mendapat sentuhan "editor sungguh-sungguh". Kasihan memang kalau kawan saya yang kampiun di bidang sains itu, begitu gelagapan menghadapi segala tetek bengek kaidah kebahasaan. Padahal, kopieditor harus berhadapan dengan naskah. Idealnya, ketika menggarap naskah, kopieditor harus memerhatikan: keterbacaan, ketaatasasan, kebenaran bahasa, kebenaran ejaan, kejelasan dan gaya bahasa, ketelitian/kebenaran data dan fakta, legalitas dan kesopanan, penyediaan dan penyuntingan ilustrasi, perincian produksi, dan kelengkapan bagian buku.

Dalam bahasa Indonesia, "di" memunyai dua fungsi. Pertama, sebagai prefiks (awalan) dan kedua sebagai preposisi (kata depan). Kedua fungsi yang berbeda ini kerap dikacaukan dalam penggunaannya.

Sebagai prefiks, "di" selalu diikuti oleh verba (kata kerja) dan ditulis serangkai dengan verba tersebut. Sebagai preposisi, "di" selalu diikuti oleh kata yang menerangkan tempat. Dalam hal ini, "di" ditulis terpisah dari keterangan tempat yang mengikutinya. Contoh prefiks: ditulis, dimakan, dan didorong. Contoh preposisi: di jalan, di kantor, dan di Bandung.

Untuk keterangan tempat yang lebih spesifik, preposisi "di" mendapat tambahan kata yang sesuai dengan kekhususan tersebut, seperti atas, bawah, luar, dalam, muka, dan belakang. Dalam konteks ini, preposisi "di" tetap ditulis terpisah dari kata tambahan tersebut. Perhatikan contoh berikut: di meja, di kantor, di sekolah, di masjid, dan di rumah (tidak khusus). Adapun, di atas meja, di luar kantor, di depan sekolah, di belakang masjid, dan di dalam rumah (khusus). Preposisi "di" juga ditulis terpisah jika diikuti kata-kata, seperti antara (di antara), mana (di mana), sana/sini (di sana/sini).

Preposisi "di" tidak boleh digunakan untuk menunjukkan waktu. Sebagai gantinya, digunakan preposisi "pada". Perhatikanlah contoh berikut: di zaman Sriwijaya, di era pembangunan, di masa revolusi, di bulan yang lalu, dan di senja hari (tidak sesuai dengan kaidah). Seharusnya: pada zaman Sriwijaya, pada era pembangunan, pada masa revolusi, pada bulan yang lalu, dan pada senja hari (sesuai dengan kaidah).

Jika ada keterangan waktu yang menggunakan preposisi "di", biasanya hal semacam itu terdapat dalam sajak atau syair. Penyair memang memiliki kebebasan yang dikenal dengan sebutan licentia poetica. Kadang-kadang seorang pnnyair harus menyusun kata-kata untuk mendapatkan keseimbangan bunyi yang dapat melahirkan rasa keindahan. Dalam prosa dan esai, tidak boleh digunakan preposisi "di" untuk menunjukkan waktu. Larik berikut dibolehkan berdasarkan licentia poetica: di senja yang kelam ... di musim yang silam .... Kalau diukur dengan kaidah bahasa Indonesia, nukilan larik itu seharusnya berbunyi: pada senja yang kelam ...pada musim yang silam ....

Preposisi "di" tidak digunakan jika diikuti oleh kata ganti orang, seperti saya, dia, kamu, mereka, ayah, ibu, dan kakak. Sebagai gantinya, digunakan kata depan "pada". Perhatikan contoh berikut: "Bukumu ada di saya" atau "Titipkan bukuku di Sandri" (tidak sesuai dengan kaidah). Adapun, "Bukumu ada pada saya" atau "Titipkan bukuku pada Sandri" (sesuai dengan kaidah).

Preposisi "di" tidak digunakan jika yang mengikutinya adalah kata benda abstrak (niskala/tak berwujud). Sebagai gantinya, digunakan preposisi "pada", kadang-kadang dapat juga digunakan preposisi "dalam". Perhatikan contoh berikut: di pertandingan itu, di pikirannya, di pertemuan itu, dan di kesempatan ini (tidak sesuai dengan kaidah). Adapun, pada (dalam) pertandingan itu, pada (dalam) pikirannya, pada (dalam) pertemuan itu, dan pada (dalam) kesempatan ini (sesuai dengan kaidah).

Kata depan "di" tidak digunakan jika keterangan tempat didahului oleh angka (jika kata depan itu diikuti oleh angka), misalnya Di Sebuah Kapal, di dua kamar dipasang, di banyak kantor, dan di lima kota (tidak sesuai dengan kaidah). Adapun, Pada Sebuah Kapal (judul novel Nh. Dini), pada dua kamar dipasang, pada banyak kantor, dan pada lima kota (sesuai dengan kaidah).

Kata depan "di" tidak digunakan jika diikuti oleh keterangan tempat yang tidak sebenarnya, misalnya Di wajahmu kulihat bulan, Sisa makanan yang tertinggal di sela-sela gigi dapat menyebabkan sakit gigi, Peganglah kepalanya dengan satu tangan di dagu dan satu tangan di dahi, dan Pasanglah penghalang di sisi kiri dan kanan tangga (tidak sesuai dengan kaidah). Adapun, Pada wajahmu kulihat bulan, Sisa makanan yang tertinggal pada sela-sela gigi dapat menyebabkan sakit gigi, Peganglah kepalanya dengan satu tangan pada dagu dan satu tangan pada dahi, dan Pasanglah penghalang pada sisi kiri dan kanan tangga (sesuai dengan kaidah).

Preposisi "pada" berubah menjadi "kepada" jika tekanannya mengenai arah. Contohnya, Geri melapor kepada polisi. Jika tekanannya tidak mengenai arah, gunakan preposisi "pada", misalnya Buku ini saya berikan pada Ibu Farika.

Diambil dan diedit seperlunya dari:
Nama majalah : Matabaca (2005)
Judul Artikel: Lebih Dekat Dengan Preposisi "di" dan "pada"
Penulis : Edi Warsidi
Halaman : 20
Topik: Kaidah dan Pema

Kesalahan Ejaan

Submitted by team e-penulis on Sen, 27/03/2006 - 11:22am.

Penulis : Dendy Sugono

Di dalam kenyataan penggunaan bahasa masih banyak kesalahan bahasa yang disebabkan oleh kesalahan penerapan ejaan, terutama tanda baca. Penyebabnya, antara lain ialah adanya perbedaan konsepsi pengertian tanda baca di dalam ejaan sebelumnya yaitu tanda baca diartikan sebagai tanda bagaimana seharusnya membaca tulisan. Misalnya, tanda koma merupakan tempat perhentian sebentar (jeda) dan tanda tanya menandakan intonasi naik. Hal seperti itu sekarang tidak seluruhnya dapat dipertahankan. Misalnya, antara subyek dan predikat terdapat jeda dalam membaca, tetapi tidak digunakan tanda koma jika bukan tanda koma yang mengapit keterangan tambahan atau keterangan aposisi. Perhatikan contoh (6) dan (7). Disitu terlihat bahwa intonasi kalimat tanya tidak semua harus naik. Intonasi kalimat tanya hanya akan naik jika kalimat itu tidak didahului oleh kata tanya (1-5). Namun, jika didahului kata tanya (apa, siapa, bagaimana, mengapa, dan kapan), maka intonasi kalimat tanya tersebut tidak naik (bahkan turun). Contoh:

(1) Engkau sudah lulus?
(2) Dia tidak ikut ujian?
(3) Engkau akan bekerja?
(4) Dia tidak mau bekerja?
(5) Engkau akan menulis surat permohonan kerja?

Bandingkan dengan kalimat tanya yang berikut:

(1a) Apakah engkau sudah lulus?
(2a) Siapa yang tidak ikut ujian?
(3a) Bagaimana kalau engkau bekerja saja?
(4a) Mengapa dia tidak mau bekerja?
(5a) Kapan engkau akan menulis surat permohonan kerja?

Di dalam konsep pengertian lama tanda baca berhubungan dengan bagaimana melisankan bahasa tulis, sedangkan dalam ejaan sekarang tanda baca berhubungan dengan bagaimana memahami tulisan (bagi pembaca) atau bagaimana memperjelas isi pikiran (bagi penulis) dalam ragam bahasa tulis. Jadi, bagi pembaca, tanda baca berfungsi untuk membantu pembaca dalam memahami jalan pemikiran penulis; sedangkan bagi penulis, tanda baca berfungsi untuk membantu menjelaskan jalan bagi penulis supaya tulisannya (karangannya) dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca. Misalnya, singkatan yang dipisahkan dengan tanda koma dari nama orang adalah singkatan gelar akademik, seperti Mustara S.H. Jika tidak dipakai tanda koma (Mustara S.H.) singkatan itu diartikan sebagai singkatan nama orang, misalnya, Mustara Hadi. Atau, bagian yang diapit tanda koma adalah keterangan tambahan. Misalnya, 'unsur yang pernah menjuarai All England delapan kali' dan 'mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup' dalam contoh berikut adalah keterangan tambahan (6) dan keterangan aposisi (7).

(6) Rudi Hartono, yang pernah menjuarai All England delapan kali, menjadi pelatih PBSI.
(7) Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup mengatakan bahwa kita harus menjaga kelestarian alam.

Berikut dikemukakan beberapa kesalahan bahasa yang disebabkan oleh kesalahan penggunaan tanda baca, khususnya tanda koma.

1. Tanda Koma di antara Subjek dan Predikat
Ada kecenderungan penulis menggunakan tanda koma di antara subyek dan predikat kalimat jika nomina subjek mempunyai keterangan yang panjang. Penggunaan tanda koma itu tidak benar karena subjek tidak dipisahkan oleh tanda koma dari predikat, kecuali pasangan tanda koma yang mengapit keterangan tambahan atau keterangan aposisi sebagaimana dikemukakan pada contoh (6) dan (7). Oleh karana itu, penggunaan tanda koma dalam contoh-contoh berikut tidak benar.

(8) Mahasiswa yang akan mengikuti ujian negara, diharapkan mendaftarkan diri di sekretariat.
(9) Tanah bekas hak guna usaha yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, akan ditetapkan kemudian pengaturannya.
(10) Kesediaan negara itu untuk membeli gas alam cair (LNG) Indonesia sebesar dua juta ton setiap tahun, tentu merupakan suatu penambahan baru yang tidak sedikit artinya dalam penerimaan devisa negara.
(11) Para wajib pajak uang dalam batas waktu yang telah ditentukan tidak mengembalikan surat pemberitahuan (SPT), akan dikenai sanksi yang berupa denda atau hukuman.

Unsur kalimat yang mendahului tanda koma dalam keempat contoh itu adalah subyek, dan unsur kalimat yang mengiringi tanda koma itu (secara berturut-turut 'diharapkan, merupakan, akan ditetapkan, dan akan dikenai') adalah predikat. Oleh karena itu, penggunaan tanda koma itu tidak benar. Keempat kalimat itu dapat diperbaiki dengan menghilangkan tanda koma itu.

2. Tanda Koma di antara Keterangan dan Subyek
Selain subyek, keterangan kalimat yang panjang dan yang menempati posisi awal juga sering dipisahkan oleh tanda koma dari subyek kalimat. Padahal, meskipun panjang, keterangan itu bukan anak kalimat. Oleh karena itu, pemakaian tanda koma seperti itu juga tidak benar, seperti terlihat dalam contoh berikut.

(12) Dalam suatu pernyataan singkat di kantornya, pengusaha itu membantah bekerjasama dengan penyelundup.
(13) Dalam rangka peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, kita akan mengadakan sayembara mengarang tingkat SMTA.
(14) Untuk keperluan belanja sehari-hari, mereka masih bergantung kepada orangtuanya.
(15) Dengan kemenangan yang gemilang itu, pemain andalan kita dapat memboyong piala kembali ke Tanah Air.

Unsur kalimat yang mendahului tanda koma itu adalah keterangan yang bukan merupakan anak kalimat meskipun panjang. Oleh karena itu, tanda koma tersebut dihilangkan, kecuali jika penghilangan tanda koma itu akan menimbulkan ketidakjelasan batas antara keterangan dan subyek seperti dalam contoh berikut.

(15) Dalam pemecahan masalah kenakalan anak kita memerlukan data dari berbagai pihak, antara lain dari pihak orangtua, sekolah, dan masyarakat tempat tinggalnya.

Kalimat (15) itu dapat menimbulkan salah pengertian karena batas keterangan tidak diketahui secara pasti apakah (15a), (15b), atau (15c) berikut:

(15a) Dalam pemecahan masalah kenakalan // anak kita ...
Keterangan ------------- Subyek
(15b) Dalam pemecahan masalah kenakalan anak // kita ...
Keterangan ------------- Subyek
(15c) Dalam pemecahan masalah kenakalan anak kita // ...

Oleh karena itu, perlu digunakan tanda koma untuk membatasi unsur keterangan itu dari subyek (atau unsur kalimat yang berikutnya) seperti (15d) berikut.

(15d) Dalam pemecahan masalah kenakalan anak, kita memerlukan data dari berbagai pihak, antara lain dari pihak orangtua, sekolah, dan masyarakat tempat tinggalnya.

Tanda koma juga digunakan jika keterangan berupa anak kalimat, karena anak kalimat yang mendahului induk kalimat dipisahkan dengan tanda koma dari induk kalimat meskipun hanya berupa unsur yang pendek (16) dan (17). Dan, sekali lagi, tanda koma itu tidak digunakan untuk memisahkan keterangan dari subyek kalau keterangan itu bukan anak kalimat (18) dan (19) di bawah ini.

3. Tanda Koma di antara Predikat dan Objek
Objek yang berupa anak kalimat juga sering dipisahkan dengan tanda koma dari predikat. Pemakaian tanda koma seperti itu juga tidak benar karena obyek tidak dipisahkan dengan tanda koma dari predikat. Amatilah contoh berikut.

(16) Tokoh pendidikan uang telah pensiun itu mengatakan, bahwa kegiatan anak remaja harus diarahkan pada pertumbuhan kreativitas.
(17) Ibu tidak menceritakan, bagaimana si Kancil keluar dari sumur jebakan itu.
(18) Mereka sedang meneliti, apakah sampah dapat dijadikan komoditas ekspor.
(19) Kami belum mengetahui, kapan penelitian itu akan membuahkan hasil.

Unsur kalimat yang mengiringi tanda koma itu, yang didahului oleh konjungsi ((16) 'bahwa' dan kata tanya (17) 'bagaimana' (70) 'apakah', keempat kalimat tanya itu dihilangkan, sebagaimana dikemukakan di atas di antara obyek dan predikat tidak digunakan tanda koma, kecuali tanda koma yang mengapit keterangan yang berupa anak kalimat (20-21) atau tanda koma yang memisahkan kutipan dari predikat induk kalimat (22-23).

(20) Pejabat itu menegaskan, ketika menjawab pertanyaan wartawan, bahwa kenaikan harga sembilan bahan pokok akan ditekan serendah-rendahnya.
(21) Seorang pedagang mengatakan, sambil melayani pelanggannya, bahwa naiknya harga barang-barang sudah dari agennya.
(22) Pedagang yang lain mengatakan, "Kenaikan harga barang memang bukan dari kami."
(23) Dia menjelaskan, "Sejak dua hari yang lalu pihak agen sudah menaikkan harga."

Tanda koma dalam kedua contoh pertama (20-21) mengapit keterangan yang disisipkan di antara predikat dan obyek. Jadi, tanda koma dalam kedua kalimat itu bukan pemisah obyek dari predikat, melainkan sebagai pengapit anak kalimat keterangan. Oleh karena itu, pemakaian tanda koma itu benar. Di dalam kedua kalimat terakhir (22-23) tanda koma digunakan untuk memisahkan kutipan langsung dari induk kalimat. Penggunaan tanda koma itu juga benar. Penggunaan tanda koma tidak dibenarkan jika obyek kalimat itu bukan kutipan langsung, seperti dalam contoh berikut.

(24) Tokoh tiga zaman itu menegaskan, perkembangan teknologi melaju terlalu cepat dalam dua dasawarsa terakhir ini.
(25) Dokter itu mengatakan, perkawinan usia muda membawa akibat pada keturunan.

Ada orang kaya yang beranggapan bahwa tanda koma itu sebagai pengganti konjungsi 'bahwa' yang mengawali anak kalimat obyek. Namun, hal itu menimbulkan pertanyaan apakah anak kalimat itu merupakan kutipan langsung. Jika kutipan langsung, tentunya anak kalimat ditulis dengan diapit tanda petik (24a) dan (25a)di bawah ini. Jika bukan kutipan langsung, anak kalimat itu perlu diawali 'bahwa' dan tanda koma dihilangkan (25b). Jadi, penggunaan tanda koma, sebagai pengganti konjungsi 'bahwa', dalam kedua contoh itu tidak benar, yang benar adalah yang berikut.

(24a) Tokoh tiga zaman itu menegaskan, "Perkembangan teknologi melaju terlalu cepat dalam dua dasawarsa terakhir ini."
(24b) Tokoh tiga zaman itu menegaskan bahwa perkembangan teknologi melaju terlalu cepat dalam dua dasawarsa terakhir ini.
(25a) Dokter itu mengatakan, "Perkawinan usia muda membawa akibat pada keturunan."
(25b) Dokter itu mengatakan bahwa perkawinan usia muda membawa akibat pada keturunan.

Bahan dikutip dari sumber:
Judul Buku : Berbahasa Indonesia dengan Benar
Judul Artikel : Kesalahan Diksi
Penulis : Dendy Sugono
Penerbit : Puspa Swara, Jakarta, 2002
Halaman : 201 - 205

Kata Ulang

Submitted by team e-penulis on Rab, 19/03/2008 - 2:13pm.

Diringkas oleh: Puji Arya Yanti

Kata ulang dapat dibahas dengan meninjaunya dari segi bentuk dan dari segi makna atau fungsi perulangan kata.

Bentuk Kata Ulang
Menurut bentuknya, kata ulang dapat dibagi sebagai berikut.

Kata ulang penuh atau kata ulang murni, yaitu semua kata ulang yang dihasilkan oleh perulangan unsur-unsurnya secara penuh.
Misalnya: rumah-rumah, sakit-sakit.
Kata ulang berimbuhan atau kata ulang bersambungan, yaitu semua kata ulang yang salah satu unsurnya berimbuan: awalan, sisipan, atau akhiran.
Misalnya: berjalan-jalan, turun-temurun, tanam-tanaman.
Kata ulang berubah bunyi, yaitu kata ulang yang mengalami perubahan bunyi pada unsur pertama atau unsur kedua kata ulang.
Misalnya: bolak-balik, serba-serbi.
Kata ulang semu, yaitu kata yang hanya dijumpai dalam bentuk ulang itu. Jika tidak diulang, komponennya tidak memunyai makna atau bisa juga memunyai makna lain yang tidak ada hubungannya dengan kata ulang tersebut.
Misalnya: hati-hati, tiba-tiba, kunang-kunang.
Kata ulang dwipurwa, yang berarti "dahulu dua" atau kata ulang yang berasal dari komponen yang semula diulang kemudian berubah menjadi sepatah kata dengan bentuk seperti itu. Kata ulang ini disebut juga reduplikasi, yang berasal dari bahasa Inggris "reduplication" yang berarti perulangan. Sebenarnya semua kata ulang juga dapat disebut reduplikasi.
Misalnya: lelaki, tetua.
Makna dan Fungsi Kata Ulang
Perulangan kata benda
Makna yang terkandung dalam perulangan dengan bentuk dasar kata benda.

Menyatakan benda itu bermacam-macam. Misalnya: buah-buahan, sayur-sayuran.
Menyatakan benda yang menyerupai bentuk dasar itu. Misalnya: anak-anakan, orang-orangan.
Perulangan kata kerja
Makna yang terkandung dalam perulangan dengan bentuk dasar kata kerja.

Menyatakan bahwa pekerjaan itu dilakukan berulang-ulang atau beberapa kali.
Misalnya: meloncat-loncat, menyebut-nyebut.
Menyatakan aspek duratif, yaitu proses pekerjaan, pembuatan, atau keadaan yang berlangsung lama.
Misalnya: berenang-renang, duduk-duduk.
Menyatakan bermacam-macam pekerjaan.
Misalnya: cetak-mencetak, karang-mengarang.
menyatakan pekerjaan yang dilakukan oleh dua belah pikak atau berbalasan.
Misalnya: tembak-menembak, tuduh-menuduh
Perulangan kata sifat
Makna yang terkandung dalam perulangan dengan bentuk dasar kata sifat.

Menyatakan makna lebih (intensitas).
Misalnya: Berjalan cepat-cepat! Kerjakan baik-baik!
Menyatakan makna sampai atau pernah.
Misalnya: Tak sembuh-sembuh sakitnya walaupun ia sudah berobat ke luar negeri (tak pernah sembuh). Habis-habisan ia berbelanja (sampai habis).
Digabungkan dengan awalan se- dan akhiran -nya mengandung makna superlatif (paling).
Misalnya: Kerjakan sebaik-baiknya agar hasilnya memuaskan. Terbangkan layang-layangmu setinggi-tingginya.
Berlawanan dengan makna nomor satu atau melemahkan arti kata sifat itu.
Misalnya: Badanku sakit-sakit saja rasanya. (sakit di sana-sini, tapi tidak terlalu sakit) Kalau kepalamu pening-pening, bawalah tidur. (agak pening; pening sedikit)
Bentuk yang seolah-olah sudah mejadi ungkapan dalam bahasa Indonesia, makna perulangannya kurang jelas.
Misalnya: Jangan menakut-nakuti anak-anak karena akan memengaruhi jiwanya kelak.
4. Perulangan kata bilangan
Perulangan kata satu menjadi satu-satu memberi makna "satu demi satu".
Misalnya: Peserta ujian masuk ruangan itu satu-satu.
Perulangan kata satu dengan tambahan akhiran -nya memberi makna "hanya satu itu".
Misalnya: Ini anak saya satu-satunya.
Perulangan kata dua-dua, tiga-tiga, dst. memberi pengertian "sekaligus dua, tiga, dst.".
Misalnya: Jangan masuk dua-dua karena pintu itu tidak lebar.
Bentuk perulangan berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu, dst. menyatakan makna "kelipatan sepuluh, seratus, seribu, dst..
Misalnya: Beribu-ribu orang yang mati dalam peperangan itu.
Bentuk perulangan kata bilangan dengan awalan ber-, saat ini sering diganti dengan bentukan dengan akhiran -an. Misalnya: berpuluh-puluh menjadi puluhan.


Diringkas dari: Judul buku : Membina Bahasa Indonesia Baku
Judul bab : Kata Ulang
Penulis : DR. J.S. Badudu
Penerbit : Pustaka Prima, Bandung 1985
Halaman : 21 -- 28

Luluhnya "P" sehabis "Me-"

Submitted by team e-penulis on Kam, 17/01/2008 - 3:56pm.

Oleh: Sally Pattinasarany

Akhir-akhir ini kita dibingungkan oleh kata mempunyai dan memunyai. Media massa pun dibuatnya begitu. Lihat artikel di Pikiran Rakyat, 18 Oktober 2002 (Pimpinan Harus Selalu Harmonis) dan terbitan 1 Juli 2002 (Memberantas Pencucian Uang). Pada artikel pertama, terdapat kalimat: "... meminta agar warga Bandung memunyai perhatian ...." Sedangkan pada artikel kedua, ada kalimat: "... sebaliknya, Singapura sendiri mempunyai semacam kebijakan ...."

Mana yang benar?

Selama ini, kita mempelajari bahwa jika sebuah kata yang diawali dengan huruf p bergabung dengan awalan me-, huruf itu akan luluh. Jadi, menurut kaidah bahasa Indonesia, seharusnya bentuk yang dapat dianggap benar adalah memunyai. Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi 2001, tertera kata pu.nya dengan kata turunan mem.punya.i. Apakah ada kata-kata berawalan p lainnya yang juga tidak luluh ketika digabungkan dengan awalan me-? Mari kita merujuk KBBI.

Ada empat pola kata berawalan huruf p yang terdapat dalam KBBI:

KV (konsonan-vokal): huruf p akan luluh ketika bergabung dengan me-. Misalnya, pa.gar menjadi me.ma.gar.

KVK (konsonan-vokal-konsonan): huruf p akan luluh. Misalnya: pim.pin menjadi me.mim.pin. Namun, jika sebuah kata hanya terdiri atas satu suku kata, huruf p tidak luluh. Misalnya, pel menjadi me.nge.pel.

KKV (konsonan-konsonan-vokal): huruf p tidak luluh. Misalnya, pro.duk.si menjadi mem.pro.duk.si.

KKVK (konsonan-konsonan-vokal-konsonan): huruf p tidak luluh. Misalnya, plom.bir menjadi mem.plom.bir.

Jadi, berdasarkan KBBI, ada empat jenis pola suku kata untuk kata awalan huruf p, yaitu pola di mana huruf p luluh (KV dan KVK) dan pola di mana huruf p tidak luluh (KKV dan KKVK).

Pertanyaannya, apakah suku kata awal sebuah kata dapat dijadikan pegangan untuk menentukan luluh tidaknya huruf p? Ternyata tidak. Dalam KBBI, juga ditemukan kata-kata yang diawali dengan huruf p, tetapi perilakunya berbeda dengan kelompok pola suku kata di atas. Ambil contoh kata pat.ro.li dan pat.ri yang berpola KVK. Harusnya, huruf p luluh bergabung dengan awalan me- sehingga akan menghasilkan kata turunan me.mat.ro.li dan me.ma.tri. Namun dalam kamus, ditemukan kata turunan mem.pat.ro.li.

Yang lebih membingungkan, dalam KBBI edisi 1991 untuk kata per.ko.sa, kita akan menemukan dua bentuk kata turunan, yakni me.mer.ko.sa dan mem.per.ko.sa. Pada edisi 2001, hanya dijumpai satu bentuk kata turunan: me.mer.ko.sa. Karena edisi 2001 merupakan edisi lebih baru, saya beranggapan bahwa kata turunan yang benar untuk kata perkosa adalah memerkosa.

Kembali ke pertanyaan semula, kapankah sebenarnya huruf p akan luluh jika bergabung dengan me- dan kapan tidak. Mustakim dalam buku "Tanya Jawab Ejaan Bahasa Indonesia untuk Umum" menyatakan, huruf awal p pada kata-kata serapan dari bahasa asing tidak akan luluh jika gabung dengan me- (1992:149).

Berdasarkan pendapat Mustakim itu, kita dapat berasumsi bahwa kata patroli merupakan kata serapan, sedangkan kata patri merupakan kata yang berasal dari bahasa Indonesia. Apakah setiap kali ingin menggabungkan sebuah kata berawalan huruf p, kita selalu harus memerhatikan apakah kata itu kata serapan atau bukan? Jadi dalam hal ini, kita harus mengetahui sejarah sebuah kata secara etimologis.

Oleh karena banyak yang tidak mengetahui etimologi sebuah kata, tidak mengherankan jika kita menemukan dua bentuk kata turunan untuk sebuah kata yang sama. Misalnya, mempunyai dan memunyai, memproses memroses. Agar tidak membingungkan para pengguna bahasa Indonesia, sebaiknya kita berpegang pada keempat pola di atas. Dengan demikian berdasarkan pola itu, kata turunan untuk kata punya adalah memunyai.

Diambil dari: Nama majalah : Intisari Desember 2003
Penulis : Sally Pattinasarany
Penerbit : PT Intisari Mediatama, Jakarta 2003
Halaman : 152 -- 153

Penggunaan Huruf Kapital

Submitted by team e-penulis on Sen, 27/03/2006 - 11:18am.

Penulis : Dendy Sugono

Huruf kapital (huruf besar) dipakai sebagai huruf pertama dalam:
Petikan langsung.
Contoh: Andi berkata, "Lihat Bu, apa yang telah saya buat di sekolah"

Dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan.
Contoh:
- Sejauh mana Anda sudah mengenal Alkitab?
- Ia mengasihi umat-Nya sedemikian rupa, sehingga Ia rela mengorbankan nyawa-Nya untuk mereka.

Nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.
Contoh: Rasul Paulus, Nabi Musa, Raden Ajeng Kartini dan sebagainya.

Unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
Contoh: Presiden Megawati, Wakil Presiden Hamzah Haz, Sekretaris Jendral Pertanian, Gubernur Irian Jaya, dan sebagainya.

Nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa.
Contoh: bangsa Indonesia, suku Jawa, bahasa Inggris, dan sebagainya.

Nama hari, bulan, tahun, hari raya, dan peristiwa sejarah.
Contoh: hari Senin, bulan Agustus, tahun Hijriah, hari Natal, Perang Padri, dan sebagainya.

Nama geografi.
Contoh: Asia Tenggara, Bukit Barisan, Jalan Diponegoro, dan sebagainya.

Semua unsur nama negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan, serta nama dokumen resmi.
Contoh: Republik Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi.
Contoh: Perserikatan Bangsa-Bangsa, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, dan sebagainya.

Semua kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan kecuali kata di, ke, dari, dan, yang, untuk yang tidak terletak pada posisi awal.
Contoh: Ia telah menyelesaikan Asas-Asas Hukum Perdata.

Unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan.
Contoh: Dr. (doktor), S.S. (sarjana sastra), Prof. (profesor), dan sebagainya.

Kata penunjuk hubungan kekerabatan seperti ´bapak, ibu, saudara, adik, dan paman yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan.
Contoh:
- Surat Saudara sudah saya terima.
- Besok Paman akan datang.

Kata ganti Anda.
Contoh: Jangan menaruh barang-barang Anda di meja ini.

Bahan diedit dari sumber:
Judul Buku : Berbahasa Indonesia dengan Benar
Penulis : Dendy Sugono
Penerbit : Puspaswara, Jakarta, 1994
Halaman : 236 - 241

Maaf

Submitted by team e-penulis on Jum, 24/11/2006 - 2:01pm.

Oleh SAMSUDIN BERLIAN

Tak salah lagi! Kata minggu ini ialah: maaf. Sebagaimana kata-kata besar pada umumnya, makin sering digunakan, makin kabur artinya. Agar lebih sreg mengikuti perdebatan mengenai permaafan, berikut ini 25 makna maaf:
» 'aku sudah menyesal' seperti dalam "Maafkan aku, Ma. Isak, isak. Lain kali aku akan belajar sungguh-sungguh.
» 'anda akan menyesal' seperti dalam "Maaf! Kami tidak bertanggung jawab atas keselamatan nyawa siapa pun yang masuk ke dalam lokasi ini tanpa izin."
» 'aku khilaf seperti dalam "uhuk, uhuk. Maafkan aku, Dik. Aku tidak akan nyeleweng lagi. Uhuk, uhuk."
» 'aku sudah berubah' seperti dalam "Maafkan kami, Aceh Nanggroe. Yang lalu biarlah berlalu, hari baru berpadu-padu.
» 'aku ingin cium kamu' seperti dalam "Maafkan aku, ya, Siti sayang. Beneran deh, aku tidak akan jalan dengan dia lagi. Kita baikan, ya?"
» 'ampun' seperti dalam Tiada maaf bagimu,' kata Siti dingin sambil mengayunkan kapaknya.°'
» 'aku tidak akan mengulanginya lagi' seperti dalam "Sumpah mati, aku kapok. Tobat. Maafkan sekali ini saja, Bu Hakim. Mulai sekarang aku akan cari kerja halal."
» 'aku tidak sengaja' seperti dalam "Awas! Brak! Maaf"
» 'dari dasar hatiku terdalam, sungguh aku tidak tahu aku ini salah apa' seperti dalam "Maaf lahir batin atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak selama setahun yang lalu."
» 'anda sedang masuk daerah macet' seperti dalam "Maaf. Ada perbaikan jalan.
» 'tidak perlu bayar' seperti dalam "Kumaafkan semua utangmu."
» 'abaikanlah' seperti dalam "Wahai adinda, maafkanlah sem . a kekurangan kakanda."
» 'anda senang atau tidak, berkenan atau gondok, pokoknya aku akan melakukannya' seperti dalam stiker yang banyak tertempel di belakang angkot, "Maaf! Gue sering berhenti mendadak."
» 'pasrah saja (kalau anda bukan teroris)' seperti dalam "Maaf! Demi kepentingan bersama kami akan memeriksa isi tas dan kantong anda."
» 'anda tidak boleh melakukannya, titik. Tapi karena anda adalah orang Indonesia yang berperasaan halus hati mudah tersinggung jiwa mudah terluka dan terutama karena anda lebih galak daripada saya, maka saya terpaksa mengucapkannya sebelum melarang anda' seperti dalam "Maaf! Dilarang Merokok!"
» 'kalau mau urusan lancar... seperti dalam "Maaf. Pengertian dong. Uang rokoknya mana?"
» 'terimalah nasib anda dengan tabah dan tawakal' seperti dalam "A laaf, barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan.
» 'pasrah saja (kalau mau selamat)' seperti dalam "Maaf. Yang di tangan saya ini namanya clurit. Yang di leher anda itu namanya kalung. Paham? Dan tolong jangan teriak. Aku ini kaaetan.
» 'aku bingung' seperti dalam "Maaf. Ini betul jalan ke Cendana? Kok diblokir?"
» 'aku mengaku salah, tapi semua orang melakukannya, jadi sebetulnya aku tidak bersalah,' seperti 'alam "Maaf. Tapi sebagai manusia biasa tentu aku tidak Input dari kesalahan."
» 'pasrah saja (sadar dong hu bisa apa)' seperti dalam "Maaf. Memang aku yang melakukannya. Terus kau mau apa?"
» 'tutup mata dan lupakan saja' seperti dalam "Kesalahan itu ia lakukan saat masih muda dan gagah. Sekarang dia sudah tua dan sakit-sakitan. Sudah sepantasnya kita memaafkannya."
» jangan ngotot, dong' seperti dalam "Maaf! Anda kok tidak mau legowo memaafkan saya? Kan saya sudah minta maaf? Bangsa Indonesia kan bangsa pemaaf. Apa anda mau mencoreng wajah ramah negeri tercinta yang terkenal berjiwa besar ini? Anda ini orang Indonesia apa bukan, sih?"
» 'bebas secara resmi dari segala tuntutan (moral dan hukum)' seperti dalam "Dengan ini saya sebagai penuntut umum menyatakan_bahwa beliau telah dimaafkan untuk segala kesalahannya terhadap rakyat, bangsa, dan negeri ini, dari sekarang sampai selama-nmanya.
» 'biarkanlah Tuhan yang berurusan denganku, kamu cuma manusia biasa' seperti dalam sinetron terbaru "Maaf untuk Bapak".

Akhir kata, maaf kalau anda malah tambah bingung, apalagi tersinggung.

Penulis Seorang Pengamat Bahasa

Sumber : Kompas, Jumat 26 Mei 2006, Hal 15

Masuk Mola Pondok Indah Harus Pakai Paspor?

Submitted by team e-penulis on Jum, 24/11/2006 - 1:38pm.

Oleh SALOMO SIMANUNGKALIT

Mola Pondok Indah itu di mana, Bung? Tentu saja belum tercantum dalam atlas Jakarta mana pun. Mol Pondok Indah? Tak juga. Mal Pondok Indah? Ada yang menyalin begitu. Mall Pondok Indah? Ini hanya masuk akal dalam bahasa Indonggris.

Mol, mal, atau mall? Terserahlah! Kawula sampai penggawa di sini tak bakal punya alasan memilih salah satu sebab keajekan berdasar nalar dalam alih bunyi ke aksara belum menyusup sampai di sumsum.

Dari mana pula mola? Nah, ini gagasan Ayatrohaedi. Ada ball ada bola, ada mall ada mola. Suang, bukan? Mari belajar menyusun ketentuan memungut kata-kata sileban berdasarkan pola. Ini yang dikenal sebagai analogi. Namun, analogi bukanlah visa cuma-cuma buat menyerap semua (x)all dalam Inggris menjadi (x)ola dalam Indonesia. Call tak perlu diadopsi jadi kola, misalnya, sebab jodoh kata benda ini ditemukan hampir dalam semua bahasa di dunia.

Demi memasarkan gagasan almarhum Mang Ayat yang berdasar nalar itu, saya pakai mola. Janggal? Semula ya, lama-lama lumrah juga. Tinggal tunggu waktu. Kalau waktu masih belum berpihak kepada Mang Ayat, serapan mall yang paling dekat mestinya mol sebab banyak orang membunyikannya: m-o-l. Ortografi yang tepat sesuai dengan ucapan kebanyakan kita setakat ini untuk kata Inggris itu niscayalah mol.

Di jembatan penyeberangan utara maupun selatan yang menghubungkan dua mola terpisah olch jalan di bilangan Pondok Indah, Jakarta terpampang tulisan gede berwarna biru menantang: Pondok Indah Mall Hanya itu! Tak ada sandingannya: entah Mal Pondok Indah, entah Mol Pondok Indah, entah Mola Pondok Indah.

Bingung juga saya. Saya sedang berada di Jakarta atau di di negeri lain? Ia seperti menguji Gubernur DKI Sutiyoso, sampai di mana ketulusannya menegakkan aturan. Perda DKI Nomor 1 Tahun 1992 menghendaki setiap papan nama atau papan petunjuk "harus ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar". Ayat lain pasal yang sama menyebutkan papan nama atau papan petunjuk dapat memakai bahasa asing, tapi "harus ditulis di bagian bawah bahasa Indonesia dengan huruf Latin yang lebih kecil". Yang melanggar, menurut Pasal 8, diancam dengan pidana kurungan atau denda!

Pondok Indah Mall itu sekadar nama? Pasti bukan, sebab mall sudah pasti menunjuk pada jenis gedung yang diberi nama itu. Bentuk ungkapan seperti itu mengikuti bahasa apa? Pasti bukan kata bahasa Indonesia sebab Pondok Indah Mall tidak sesuai dengan struktur kata majemuk pada umumnya dalam bahasa Indonesia. Di sini kita sedang bicara langue dalam paham Saussure.

Lalu, mengapa bisa tegak di sana berbulan-bulan tanpa pendamping?

Bisa jadi mola di Pondok Indah itu berada di luar wilayah DKI, bahkan di luar wilayah RI. Mana mungkin hukum Indonesia berlaku di sana! Lihatlah papan-papan petunjuk di dalam mola 2! Kecuali papan petunjuk nomor-nomor pintu, semua hanya dalam bahasa Inggris: directory, elevator, fire stair, food court, north court, north skywalk, nursing, rest room, 2nd floor, services, smoking area, south court, south skywalk, dsb. Pada shopping directory kita jumpai food & beverage, home appliance & decorations, legend, kids & toys, dst. Di mola 1 keadaan lebih baik. Di sana sini masih tersua petunjuk dalam bahasa Indonesia.

Bandingkan dengan papan-papan petunjuk di bandara antarbangsa di Kualalumpur atau Singapura! Selalu kata-kata Melayu mendampingi kata-kata Inggris: tandas bersebelahan dengan toilet, ketibaan bertetangga dekat dengan arrival, dll. Jangan lupa, persentase penduduk Malaysia atau Singapura yang mampu berbahasa Inggris jauh di atas persentase penduduk Indonesia untuk kemampuan serupa.

Kalau sentana bandara antarbangsa dengan garis imigrasinya dapat diterima sebagai perbatasan antarnegara, Pondok Indah Mall 2 dalam konteks ini kiranya dapat dipandang sebagai wilayah di luar Indonesia. Ia berada di sebuah negeri yang bahasa resminya bahasa Inggris. Bahwa 90 persen pengunjung di sana berbahasa utama bahasa Indonesia, tentulah mereka kalangan yang suka belanja atau makan minum di negeri seberang.

Pertanyaan kita, mengapa masuk di sana masih belum diharuskan menggunakan paspor supaya kita tak lagi usah berharap Sutiyoso membereskannya?

Sumber : Kompas, Jumat 28 Juli 2006, Hal 15

Penggunaan Artikel

Submitted by team e-penulis on Sen, 27/03/2006 - 11:15am.

Penulis : Anton M. Moeliono

Partikel adalah kata tugas yang dilekatkan pada kata yang mendahuluinya. Ada empat partikel, yakni sebagai berikut:

1. PARTIKEL -KAH
Kadang-kadang bersifat manasuka dan kadang-kadang bersifat wajib, bergantung pada macam kalimatnya. Kaidah pemakaiannya:
Membentuk kalimat tanya.
Contoh:
- Diakah yang akan datang?
(Bandingkan: Dia yang akan datang.)
- Hari inikah pekerjaan itu harus selesai?
(Bandingkan: Hari ini pekerjaan itu harus selesai.)

Jika dalam kalimat tanya sudah ada kata tanya, seperti apa, di mana, bagaimana, maka -kah bersifat manasuka. Pemakaian -kah menjadikan kalimatnya lebih formal dan sedikit lebih halus.
Contoh:
- Apa(kah) ayahmu sudah datang?
- Bagaimana(kah) penyelesaian soal ini jadinya?
- Ke mana(kah) anak-anak pergi?

Jika dalam kalimat tidak ada kata tanya, maka -kah akan memperjelas bahwa kalimat itu adalah kalimat tanya. Kadang-kadang urutan katanya dibalik. Tanpa -kah, arti kalimatnya bergantungpada cara kita mengucapkannya -- dapat berupa kalimat berita atau kalimat tanya.
Contoh:
- Dia akan datangkah nanti malam?
- Haruskah aku yang mulai dahulu?
- Tidak dapatkah dia mengurusi soal sekecil itu?

2. PARTIKEL -LAH
Dipakai dalam kalimat perintah atau kalimat berita. Kaidah pemakaiannya:
Dalam kalimat perintah, -lah dipakai untuk sedikit menghaluskan nada perintahnya.
Contoh:
- Pergilah sekarang, sebelum hujan turun.
- Bawalah mobil ini ke bengkel besok pagi.
- Kalau Anda mau, ambillah satu atau dua buah.

Dalam kalimat berita, -lah dipakai untuk memberikan tegasan yang sedikit keras.
Contoh:
- Dari ceritamu, jelaslah kamu yang salah.
- Ambil berapa sajalah yang Saudara perlukan.
- Cara seperti itu tidaklah pantas.
- Dialah yang menggugat soal itu.

3. PARTIKEL -PUN
Hanya dipakai dalam kalimat berita. Kaidah pemakaiannya:
Pun dipakai untuk mengeraskan arti kata yang diiringinya. Dalam tulisan, pun dipisahkan dari kata depannya.
Contoh:
- Mereka pun akhirnya setuju dengan usulan kami.
- Yang tidak perlu pun dibelinya juga.
- Siapa pun yang tidak setuju pasti akan diawasi.
Perlu diperhatikan bahwa partikel pun pada konjungsi ditulis serangkai. Jadi, ejaannya walaupun, meskipun, kendatipun, adapun, sekalipun, biarpun, dan sungguhpun.

Dengan arti yang sama seperti di atas, pun sering dipakai bersama -lah.
Contoh:
- Tidak lama kemudian hujan pun turunlah dengan derasanya.
- Para demonstran itu pun berbarislah dengan teratur.
- Para anggota yang menolak pun mulailah berpikir-pikir lagi.

4. PARTIKEL -TAH
Dipakai dalam kalimat tanya, tetapi si penanya sebenarnya tidak mengharapkan jawaban. Ia seolah-olah hanya bertanya-tanya pada diri sendiri tentang hal yang dikemukakannya. Partikel -tah itu banyak dipakai dalam sastra lama, tetapi tidak banyak dipakai lagi sekarang.
Contoh:
Apatah artinya hidup ini tanpa engkau?
Siapatah gerangan orangnya yang mau menolongku?


Bahan dikutip dari sumber:
Judul Buku: Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
Penulis : Anton M. Moeliono
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta, 1998
Halaman : 247 - 249

Penggunaan Tanda Koma

Submitted by team e-penulis on Sen, 27/03/2006 - 11:07am.

Sumber : Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan

1. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
Misalnya:
Saya membeli kertas, pena, dan tinta.
Surat biasa, surat kilat, ataupun surat khusus memerlukan perangko.
Satu, dua, ... tiga!

2. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahului oleh kata seperti `tetapi` atau `melainkan`.
Misalnya:
Saya ingin datang, tetapi hari hujan.
Didi bukan anak saya, melainkan anak Pak Kasim.

3. a. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimatnya.
Misalnya:
Kalau hari hujan, saya tidak akan datang.
Karena sibuk, ia lupa akan janjinya.
b. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimatnya jika anak kalimat itu mengiringi induk kalimat.
Misalnya:
Saya tidak akan datang kalau hari hujan.
Dia lupa akan janjinya karena sibuk.
Dia tahu bahwa soal itu penting.

4. Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya `oleh karena itu`, `jadi`, `lagi pula`, `meskipun begitu`, `akan tetapi`.
Misalnya:
... Oleh karena itu, kita harus berhati-hati.
... Jadi, soalnya tidak semudah itu.

5. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata yang lain yang terdapat di dalam kalimat.
Misalnya:
O, begitu?
Wah, bukan main!
Hati-hati, ya, nanti jatuh.

6. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat.
Misalnya:
Kata Ibu, "Saya gembira sekali."
"Saya gembira sekali," kata Ibu, "karena kamu lulus."

7. Tanda koma dipakai di antara nama dan alamat, bagian-bagian alamat, tempat dan tanggal, dan nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
Misalnya:
Surat-surat ini harap dialamatkan kepada Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Raya Salemba 6, Jakarta.
Sdr. Abdullah, Jalan Pisang Batu 1, Bogor
Surabaya, 10 Mei 1960
Kuala Lumpur, Malaysia

8. Tanda koma dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1949. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Djilid 1 dan 2. Djakarta: PT Pustaka Rakjat.

9. Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki.
Misalnya:
W.J.S. Poerdarminta, Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang (Jogjakarta: UP Indonesia, 197), hlm.4.

10. Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
Misalnya:
B. Ratulangi, S.E.
Ny. Khadijah, M.A.

11. Tanda koma dipakai di muka angka persepuluh atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka.
Misalnya:
12,5 m
Rp 12,50 12. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi.

Misalnya:
Guru saya, Pak Ahmad, pandai sekali.
Di daerah kami, misalnya, masih banyak orang laki-laki yang makan sirih.
Semua siswa, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, mengikuti latihan paduan suara.
Bandingkan dengan keterangan pembatas yang pemakaiannya tidak diapit tanda koma:

Semua siswa yang lulus ujian mendaftarkan namanya pada panitia.

13. Tanda koma dapat dipakai untuk menghindari salah baca, di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
Misalnya:
Dalam pembinaan dan pengembangan bahasa, kita memerlukan sikap yang bersungguh-sungguh.
Atas bantuan Agus, Karyadi mengucapkan terima kasih.

Bandingkan dengan:
Kita memerlukan sikap yang bersungguh-sungguh dalam pembinaan dan pengembangan bahasa.
Karyadi mengucapkan terima kasih atas bantuan Agus.

14. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langsung itu berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru.
Misalnya:
"Di mana Saudara tinggal? tanya Karim.
"Berdiri lurus-lurus!" perintahnya.

Bahan dikutip dari sumber:
Judul Buku : Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan
Penerbit : CV Yrama Widya, Bandung, 2003
Halaman : 43 - 46

Stop Pleonasme!

Submitted by team e-penulis on Sen, 27/03/2006 - 11:00am.

Penulis : J.S. Badudu

Pleonasme ialah sifat berlebih-lebihan. Konkretnya, kalau Anda menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus, tetapi sebenarnya tidak perlu, baik untuk penegas arti maupun hanya sebagai gaya, itulah pleonasme. Misalnya, "Kedua anak itu saling berpukul- pukulan." Kata ´saling´ mengandung makna perbuatan yang dilakukan secara berbatasan antara dua orang. Sedangkan bentuk kata ulang dengan afiks ´ber-an´ seperti berpukul-pukulan juga menyatakan arti yang sama dengan kata ´saling´ itu.

Saya ingin mengemukakan contoh pemakaian bahasa yang bersifat pleonasme yang saya kutip dari sebuah surat kabar ibu kota.
"Tindakan UEFA yang menjatuhkan larangan bagi Totti pasti gara- gara tindakan itu dianggap penghinaan dan pelecehan, serta dianggap bakal berbuntut tidak sedap kalau dibiarkan berlarut- larut. Sebab, tidak mustahil kalau cuah-cuahan itu dibiarkan, nanti antarpemain itu akan baku ludah meludah, lalu buntut- buntutnya baku pukul, lalu semuanya baku hantam dan baku kacau."

Perhatikan kata yang dicetak tebal dalam kutipan di atas. Kata ´baku´ itu diambil dari bahasa Melayu dialek Manado yang sama artinya dengan kata bahasa Indonesia ´saling´, yaitu mengandung arti ´berbalasan´. Jadi, kalau bentuk ulang seperti ludah-meludah dipakai sekaligus bersama-sama dengan kata baku itu sudah terjadi pleonasme. Selain itu, penggunaan bentuk ´baku pukul´ dan ´baku hantam´ dalam kutipan itu benar, tetapi bentuk ´baku kacau´ tidak benar. Mengapa? Kata ´baku´ digunakan di depan kata kerja untuk menyatakan perbuatan yang mengandung arti berbalasan, sama dengan penggunaan afiks ´ber- an´ dalam bahasa Indonesia. Sedangkan kata ´kacau´ bukan kata kerja, melainkan kata sifat. Anda dapat menggunakan bentuk baku ´tarik´ ´bertarik-tarikan´, tetapi Anda tidak dapat mengatakan ´baku besar´, ´baku banyak´ sebab ´besar´ dan ´banyak´ itu adalah kata sifat. Jadi, penggunaan kata baku kacau itu tidak berterima.

Dalam bahasa Melayu Manado, ada pemakaian khusus yang mengandung arti tertentu seperti ´bakuambe´ (bakuambil) yang artinya berbantah- bantahan, bertengkar; ´bakubawa´, artinya pergi bersama-sama, ´bakusayang´, artinya saling menyayangi, saling mengasihi, ´bakutukar´, artinya bertukar atau tertukar, ´bakudapa´, artinya bertemu, berjumpa. Masih ada kata lain, ´bakutununjuk´, artinya menunjuk, ´bakutampeleng´, artinya saling menampar, ´bakubinci´, artinya saling membenci, ´bakupolungku´, artinya bertinju (polungku = tinju), ´bakupigi´, artinya saling mengunjungi.

Kata ´baku´ yang dipungut atau diserap dari dialek Manado itu belum menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia. Kata ´saling´ dan bentuk perulangan dengan ´ber-an´ masih lebih banyak digunakan dalam bahasa Indonesia sebagai bentuk baku. Yang salah, seperti biasanya kita baca dalam surat-surat kabar, penggunaan kata ´saling´ dan ´baku´ sekaligus: saling baku pukul, saling baku hantam. Di sini terjadi pleonasme lagi. Yang benar ialah saling memukul atau baku pukul, saling menghantam atau baku hantam. Atau memakai bentuk lain dengan ´ber-an´: berpukul-pukulan, berhantam-hantaman.

Harus diketahui bahwa dalam bahasa Indonesia ada dua kata baku yang berlainan asalnya dan berlainan pula artinya. Yang pertama ialah kata baku yang baru saja kita bicarakan. Yang kedua adalah kata baku yang diserap dari bahasa Jawa yang berarti ´pokok´ atau ´utama´. Misalnya, bahasa Indonesia baku atau bahan baku.

Mudah-mudahan, dengan uraian singkat di atas menjadi jelas bagi Anda mengenai penggunaan kedua kata yang sering tidak digunakan secara tepat. Perhatikan pula, jangan menggunakan kata saling sekaligus dengan bentuk perulangan berimbuhan ´ber-an´ seperti saling hormat- menghormati. Cukup ´saling menghormati´ atau ´hormat-menghormati´saja.

Bahan dikutip dari sumber:
Judul Majalah : Intisari Edisi September 2004
Judul Artikel : Stop Pleonasme!
Penulis : J.S. Badudu
Halaman : 152 - 154